Sukses

Lifestyle

Eksklusif Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, Sang Penegak Toleransi

Fimela.com, Jakarta Media kerap menyajikan berbagai hal, termasuk konflik yang terjadi di muka bumi. Tak terkecuali Indonesia. Negeri yang beragam suku, agama, dan ras (SARA), tentu menjadi ladang empuk untuk diadu domba oleh mereka yang menginginkan perpecahan. Namun satu hal perlu kamu sadari, konflik soal SARA ternyata tak pernah ada. Kalaupun ada konflik, tentu hanya berebut kekuasaan, politik, tanpa embel-embel lain. Tapi kini 'perang' banyak terjadi mengatasnamakan keyakinan. Perbedaan diperuncing dan dijadikan alat untuk bertengkar. Miris.

Ini yang bikin hati Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi teriris. Melihat begitu banyak ketegangan di bumi pertiwi karena SARA membuatnya bergerak untuk mengubah keadaan. Tidak ada yang memaksa, namun hatinya yang terketuk. "Toleransi itu ajaran kebudayaan," ujar Dedi. Menurut dia, sesungguhnya bangsa ini merupakan bangsa yang toleran, penuh dengan kasih pada sesama. Karenanya, Dedi tak terima jika warga negara Indonesia memiliki mental luhur lantas diacak-acak oleh kebudayaan luar yang anti-toleransi. "Anti-toleransi itu budaya impor!" katanya tegas.

Bupati Purwakarta, Bapak Dedi Mulyadi. (Fotografer: Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Gara-gara ini Dedi sering dicap gila, kafir, dan sebagainya. Tapi dia tidak takut memperjuangkan hal yang sudah diyakini. Sosok bupati yang satu ini memang langka. Dia tidak peduli perkataan sengit orang-orang yang membencinya asalkan Indonesia bisa kembali ke budaya kerukunan. Dedi menyadari ini tidaklah mudah. Namun dengan niat, tekad dan prinsip hidup kuat, dia percaya diri bangsa ini bisa dibenahi dan menjadi negara yang diperhitungkan dunia.

Luar biasanya pemikiran Dedi, ternyata tak lepas dari peran keluarga, guru, dan lingkungannya. Dia bersyukur lahir dan besar di Purwakarta. Sebuah kota kecil nan asri yang masih memegang tradisi leluhur dengan penuh keteguhan. Saat duduk di bangku sekolah dasar, dia bahkan sebangku dengan teman yang berkeyakinan Ahmadiyah. Aliran minoritas ini ternyata sudah menghuni Indonesia sejak 1976, ketika Dedi kelas 1 SD. Pak bupati juga dididik oleh seorang guru super galak beragama Katolik, asal Flores, Nusa Tenggara Timur. Guru bernama Pak Uden ini bahkan kerap menampar Dedi jika tidak disiplin. "Kalau Pak Uden hidup di zaman sekarang, mungkin sudah 'dibawain' golok," kata pria kelahiran 11 April 1971 ini.

Yap, selain toleransi, persoalan banyaknya guru yang kini tak dihormati oleh siswa juga menjadi perhatiannya. Dedi amat kesal mendengar para pengajar yang harus mendapat perlakuan tidak manusiawi dari orang tua murid. Karenanya dia memberikan advokasi ke semua pendidik di daerahnya sebagai bentuk penjagaan penuh agar sang guru bisa melakukan tugas dan kewajibannya mengajar anak-anak muda.

Bupati Purwakarta, Bapak Dedi Mulyadi. (Fotografer: Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Kekaguman pada Dedi tak sampai di situ. Bintang.com dibuat ternganga ketika menginjakkan kaki ke kantornya. Luasnya tak seberapa dibanding komplek pemerintah daerah lain. Tapi asrinya luar biasa. Dua taman indah berhadapan. Di tengahnya ada jalan bagi para pengunjung yang ingin menikmati pemandangan cantik di wilayah kantor Dedi. Selain tempat kerja pegawai Pemda, ada pula rumah dinas yang ditempati Pak Bupati bersama keluarga. Didesain unik banget dan berasa tradisinya. Serius bikin betah. Percaya atau tidak, di depan ada kandang ayam dan lumbung padi, lho! Unik banget, kan?

Berbincang dengan bapak bupati satu ini memang tak ada bosannya. Dedi tahu betul siapa dirinya, dari mana leluhurnya, dan bagaimana dia mewujudkan keinginannya di masa depan. Meski demikian, pria berkumis tipis itu percaya bahwa nasib baik akan selalu mengiringi orang yang memiliki niat baik. Termasuk ketika dia, 'terdampar' menjadi warga nomor satu di Purwakarta. Tak salah Bintang.com memilihnya untuk menjadi sosok teladan pekan ini. Banyak prinsip beliau yang baik untuk kamu tiru.

Ditemui Bintang.com pada Selasa, (14/6/2016) di kediamannya, Dedi bercerita banyak soal toleransi, tradisi, nilai-nilai baik leluhur, dan masa kecilnya yang penuh kenangan indah. Simak, yuk.

Tudingan Kafir Bagi Sang Penegak Toleransi

Maaf lahir batin sebelumnya pak, agamanya apa sih? Kok banyak orang menyebut bapak kafir?

Sesuai garis keturunan sejak kecil, saya Islam tulen yang beraliran Nahdatul Ulama (NU). Mirip dengan almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), almarhum Nurcholish Majid (Cak Nur), Emha Ainun Nadjib, Quraish Shihab, Said Aqil Siradj, dan tokoh-tokoh NU lain yang dikenal di masyarakat. Saya satu persepsi dengan mereka. Kami punya kerangka berkeyakinan yang sama. 

Toleransi dalam beragama menurut bapak?

Toleransi bukan hanya diajarkan oleh kaidah agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Toleransi itu ajaran kebudayaan nusantara. Saya sebagai orang Sunda punya prinsip hidup Siliwangi. Silih asah, silih asih, silih asuh. Artinya, silih asah saling mencerdaskan, saling mengingatkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Sementara silih asih yakni saling memberi dan mengasihi, dan silih asuh itu saling mengayomi serta saling melindungi. itu sudah ada sejak zaman Pajajaran. Prabu Siliwangi sebagai raja sudah menanamkan nilai-nilai tersebut di tanah Sunda. Buktinya, ada Candi Hindu, berdiri pula pesantren-pesantren dari berbagai aliran, dan sebagainya. Itu semua sudah ada bahkan sebelum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) lahir. Sudah ada kehidupan damai di tanah indonesia. Itulah ajaran leluhur saya.

Waktu SD teman sebangku saya di Desa Sukadaya, Kecamatan Sukasari, itu beraliran Ahmadiyah. Saya paham Ahmadiyah dari bapak saya sendiri. Ada lagi nih, guru paling galak di sekolah saya. Orang Flores. Saya 'teh' sering kena tampar kalau tidak disiplin. Namanya Pak Uden. Semua murid segan liat mukanya. Tapi percaya atau tidak, dia sangat disayangi oleh orang sekampung, sebab kalau ada yang meninggal, hajatan, atau 'selametan' Pak Uden datang duluan untuk membantu yang punya acara. Nah, waktu Kapal Tampomas terbakar, tahun berapa saya lupa, Pak Uden pulang ke Flores. Satu desa saya nangis. Bayangkan, guru Katolik di tengah Muslim, paling galak tapi paling dikangenin.

Nah, yang mau saya tanyakan sekarang adalah, apakah saya bareng sama teman Ahmadiyah lantas saya jadi Ahmadiyah? Guru saya Katolik, lantas apakah saya jadi Katolik? Kan, tidak. Inilah toleransi yang sesungguhnya. Termasuk program saya, Ramadan Toleran. Silahkan makan di warung mana saja dengan 9 syarat. Bisa dibaca di spanduk yang ada di tiap rumah makan di Purwakarta.

Bupati Purwakarta, Bapak Dedi Mulyadi. (Fotografer: Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Sekarang banyak orang yang tidak toleransi, kira-kira apa penyebabnya?

Jadi ada sekelompok orang yang membawa budaya dari leluhurnya. Saya gak usah sebutin. Mereka membawa tradisi di tanah leluhurnya yang biasa bertengkar atas suku, antar garis keturunan. Semangat pertengkaran itu dibawa ke kampung ini (Indonesia). Bayangkan saja, di sana konflik garis keturunan keluarga sampai sekarang gak selesai-selesai. Sunni dan Syiah. Itu kan pertikaian hanya karena beda garis keturunan keluarga. Konflik politik antar keluarga lantas dibawa-bawa ke ranah keyakinan, dijadikan sebuah sistem nilai yang disebarluaskan kemana-mana. Di dalamnya mengajarkan permusuhan dan kebencian. Lalu dibawa ke sini. Lah, apa hubungannya sama saya? Saya bukan garis keturunan mereka.

Kalaupun ada satu pertikaian yang saya ketahui yakni cerita Perang Bubat. Tapi itu sudah lama sekali. Masa lalu. Lantas, apakah sekarang orang Sunda dan Jawa jadi musuhan dan kalau bertemu bacok-bacokan? Ajudan saya orang Jawa Timur dan saya punya kakak ipar juga orang Jawa. Gak ada problem. Tapi di tanah sana, perang sampai gak selesai-selesai, lalu ngajak-ngajak orang Indonesia ikut dalam pertikaian Sunni-Syiah. Trus, mereka bawa nilai-nilai pertengkaran dari tanah leluhurnya dan disempalkan pada orang Indonesia. Bahkan kalau gak ngikutin prinsip mereka dianggap kafir, dimusuhi, dan diancam-ancam secara fisik. Saya tegaskan, anti-toleransi itu impor! Toleransi itu yang asli Indonesia.

Orang Indonesia itu gak pernah ada yang ribut masalah keyakinan. Ributnya paling sepak bola antar kampung, urusan perut, rebutan cewek, rebutan air, rebutan batas tanah, atau rebutan sembako. bukan gara-gara SARA. Itu 'mah' penyelesaiannya juga gampang. Kekeluargaan saja. Urusan perut sebab negara memang belum bisa menyelenggarakan kemapanan sektor ekonomi. Tapi kalau ributnya soal keyakinan, negara mapan pun juga bisa dilanda perang yang tak ada habis-habisnya.

Paling berhasil dalam perwujudan agama namun tidak melupakan nilai-nilai leluhur tanah Indonesia yakni Bali. Masyarakat Bali berhasil membangun sebuah sistem agama didasarkan pada nilai budaya lokal yang dimiliki. Bali itu Hindu, tapi tidak berafiliasi ke India. Sehingga air yang disucikan pun ada di Bali. Bukan Sungai Gangga. Orang India menyebut Hindu di Bali, ya Hindu Bali.

Nah, begitu pula dengan kita. Tanah kita, kampung kita, harus dijaga kesuciannya, dimurnikan, dijaga pula kesakralannya. Makanya di NU itu suka mengeramatkan makam, hutan, hingga air. Kenapa? Tujuannya, jika tidak dikeramatkan maka banyak orang akan berbuat kerusakan. Contoh, hutan dibabat seenaknya, air dicemari, makam digali, dipindahkan, dan dijadikan area permukiman. Ini yang tidak disadari oleh banyak orang sekarang. Jadi ada pendekatan kebudayaan untuk melindungi tanah ini sehingga banyak masyarakat yang tidak bertindak sembarangan. Eh, malah dibilang syirik.

Orang-orang NU banyak yang pakai sarung. Itu kan budaya lokal. Islam gak harus seperti orang Arab. Saya orang Sunda, tradisinya memang pakai ikat kepala. Eh, saya dituduh macam-macam. Jadi Hindu lah, murtad lah, kafir lah, bahkan ada yang menuduh Syiah. Padahal, waktu itu saya dapat ikat kepala dari Bupati Gianyar, Bali. Dia khusus membuatkannya untuk saya. Dipesan dan dikerjakan oleh orang-orang khusus pula. Saya memakainya untuk menghormati dia, sebab dia memberikan penghormatan pada saya.

Dan, ikat kepala bukan ciri khas orang Hindu. Orang India gak ada yang pakai ikat kepala kayak gini, tuh. Celana jins, kemeja, dan sebagainya juga produk orang Barat yang kebanyakan beragama Kristen. Kenapa memakai jins atau kemeja tidak disebut orang Kristen? Ini berarti ada hal sistemik untuk menyingkirkan kebudayaan Indonesia. Kalau menggunakan hal ciri khas budaya Indonesia tuduhannya cuma dua. Kampungan dan kafir. Jadi, menurut saya, ini pengkafiran terhadap nilai tradisi Indonesia.

Bupati Purwakarta, Bapak Dedi Mulyadi. (Fotografer: Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Di depan kantor Bapak banyak 'gimmick' berbau-bau Bali?

Nah, ini yang orang kadang gak paham dengan sejarah. Jadi, orang Sunda dan Bali itu satu garis keturunan. Ada di sebuah buku sastra, tapi saya lupa judulnya. Makanya, orang Sunda menyebut Pulau Bali itu, Sunda kecil. Termasuk Nusa Tenggara Barat. Coba kamu lihat kebayanya orang Sunda dan Bali. Sama, kan? Ikat kepalanya juga hampir sama, cuma beda di cara pemakaian. Ikat kepala ini berlambang ekor atau buntut ayam. Kalau orang Bali buntutnya di depan serta menghadap atas. Kalau orang Sunda buntutnya di belakang dan menghadap ke bawah.

Saya selalu punya pemikiran untuk hidup sesuai dengan kultur. Orang Sunda kan pakaiannya seperti ini (menunjukkan busananya). Pakai celana pangsi dan baju pangsi. Ini kan daerah pertanian. Kebanyakan orang Sunda ke sawah, bertani, ke kebun, berladang, sampai membajak sawah. Masak mesti pakai jubah putih? Di situlah kita harus bisa membedakan, mana ajaran keyakinan dan mana ajaran kebudayaan.

Pemimpin Nyeleneh yang Dicintai

Bicara soal kepemimpinan, bagaimana reaksi masyarakat Purwakarta punya pemimpin yang nyeleneh?

Bagi saya, reaksi warga sini sangat positif. Hal itu bisa terlihat dari pengaduan online yang kita buka selama 24 jam. Di situ masyarakat bisa mengkritik kinerja pemerintah daerahnya. Sekitar 90 persen menyukai saya. Itu ukuran kesuksesan seorang pemimpin. Saya telah terpilih selama 2 periode. Saya dianggap nyeleneh sejak 2003 waktu masih menjabat sebagai wakil bupati. Suka senyum kelihatan gigi saat difoto, suka pakai baju tradisional, ikat kepala. Saya digelari Si Cepot. Saya dianggap merusak birokrasi dimana semua pejabat pada saat itu berfoto dengan gaya wibawa dan pakai pakaian resmi seperti jas. Eh, sekarang ikat kepala malah jadi tren. Hampir semua pemimpin di tataran Sunda pada pakai ikat kepala. Dulu juga kan saya minta dipanggil akang, bukan pak. Sekarang semua ngakiu jadi akang juga. Padahal mah akang ada tingkatannya. Kalau usianya sekitar 30 tahun, cocok lah dipanggil akang. Tapi kalau sudah ubanan dan punya banyak cucu, masak mau disebut akang juga? Hehehe.

Rata-rata orang melihat saya sebagai sosok seniman, budayawan, tokoh kontroversial. Tapi Insya Allah saya tetap akan bekerja dengan kekuatan hati menjadi yang terbaik untuk Purwakarta dan banyak orang.

Mengukur kesuksesan dalam membangun Purwakarta?

Itu tadi. Karena bekerja dengan hati, tingkat pembangunan kita dari tahun ke tahun makin baik. Kini setiap sekolah di kampung-kampung punya toilet, tata kota lebih baik, ada taman-taman. Rakyat bisa mengadu lewat nomor yang selalu online 24 jam, hampir 100 persen desa-desa ada listrik, ambulans 24 jam, kesehatan baik, anak-anak diperbaiki gizi dengan pembagian susu dan telur. Masih banyak lagi yang tidak ingin saya sebutkan. Cukup dilihat saja hasil kerja pemerintahan Purwakarta. Memang sih taman gak spektakuler, tapi juga gak jelek-jelek amat, hehehe.

Pemimpin hebat di Indonesia rata-rata orang yang berjiwa seni. Contoh, Soekarno. Raja-raja terdahulu juga demikian. Kalau tidak berjiwa seni, tidak akan mungkin tercipta Candi Borobudur, Prambanan, dan candi-candi lainnya. Dan, ini yang perlu diluruskan. Ternyata rumah adat di Indonesia itu merupakan karya arsitektur tingkat tinggi. Cuma banyak pemimpin daerahnya yang gak paham. Malah dibikin model Eropa, minimalis, malah gak ada konsep jelas. Ibarat makanan, kita punya ayam bakar. Tapi maksa bikin ayam goreng tepung. Kalau 'fried chicken' di Barat kan ada standar rasanya. Disajikan hangat, dicocol saos, enak. Lah, kalau disini gak ada standarnya. 'Fried chicken' digoreng, ditumpuk-tumpuk, pas disajikan sudah dingin, dan gak enak. Masih lebih enak ayam kampung bakar, kan? Jadi kita harus mengikuti diri kita, tradisi kita, dan kita memiliki standar kita sendiri yang tidak bisa dikritisi oleh pihak asing.

Saya juga akan mengembangkan kampung adat serta rumah-rumah panggung. Setiap desa dijadikan tempat wisata. Nantinya siapa pun yang liburan kemari bisa 'homestay' dengan keluarga lokal. Bayar Rp 2 juta, bisa seminggu tinggal di salah satu rumah penduduk. Sudah termasuk makan-minum dan jalan-jalan sekeliling desa. Kasih saja duitnya sama emak yang punya rumah, minta masakin. Kekeluargaan terjaga. Nantinya kalau emak ke kota, bisa juga menginap di rumah salah satu warga. Malah jadi saudara, kan? Biayanya murah meriah pula, irit.

Sekarang zamannya media sosial. Kita mempromosikan tanah kita bikin hotel 27 lantai. Lah, apa istimewanya? Gak bakal jadi 'trending topic'. Pembangunan moderen seperti itu justru lahan kritik oleh orang luar. Mereka punya teknologinya, mereka paham standarnya, sebab yang duluan membuat itu ya mereka. Coba kalau kita 'posting' rumah adat. Tidak ada yang mengkritik sebab standar dan teknologinya kita yang menguasai. Tradisi kita ini luar biasa, lho. Tinggal dikemas saja supaya lebih kekinian. Kan unik juga punya kandang ayam dan lumbung dengan padi digantung-gantung, letaknya persis di depan kantor. Sederhana tapi ngena. Demikian cara saya membangun Purwakarta.

Bupati Purwakarta, Bapak Dedi Mulyadi. (Fotografer: Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Ceritakan soal karir bapak, mulai dari awal bergabung di pemerintahan daerah hingga terpilih jadi bupati?

Saya menyebut diri saya orang yang unik. Jadi awalnya, saya bikin skripsi. Saya berpikir bagaimana caranya membuat skripsi tapi gak pakai duit. Akhirnya saya sambil kerja di sebuah perusahaan sekaligus penelitian di sana. Enak, kan, sambil penelitian, dibayar pula. Setelah 6 bulan, skripsi kelar, saya tinggalin deh tuh perusahaan, hihihi.

Lalu saya berdagang beras. Dari situ saya punya modal. Untuk ngontrak rumah, beli motor, dan disitulah saya ikutan partai. Saya jadi salah satu pengurus Partai Golkar di posisi sekretaris. Saat Reformasi dan ikut pemilihan umum 1999, saya terpilih jadi anggota DPRD. Nah, banyak rekan-rekan saya, anggota dewan punya duit langsung beli mobil, beli barang-barang mewah lain. Tapi saya beda. Saya malah beli kambing dan sapi.

Nah, teman-teman anggota dewan sering pinjam atau berhutang kambing dan sapi buat hajatan dimana-mana. Keseringan pinjam, eh malah bingung bayarnya. Gak punya duit buat balikin hutang sapi dan kambing, daripada pusing, akhirnya saya dipilih jadi wakil bupati. Hahahaha. Tapi bukan politik uang lho, ya. Tidak ada perjanjian seperti itu sebelumnya. Jadinya setelah terpilih, hutang kambing dan sapinya minta dianggap lunas, hihihi.

Saat itu, sebagai wakil, saya malah lebih terkenal daripada bupatinya. Saya tuh suka ke tempat-tempat penduduk, bahasa keren sekarang 'mah' blusukan. Saya suka seni, jadi sering gabung sama seniman-seniman. Suka menginap juga di rumah-rumah warga. Kemana-mana pakai sandal jepit. Gaya saya khas, dan itu yang bikin saya jadi tenar.

Akhirnya saya 'nyalon' jadi bupati. Karena dekat dengan seniman, saya minta tolong ke teman pekerja seni untuk ikut dalam kampanye saya. Padahal saya modal cuma Rp 500 ribu! Karena seniman yang saya bawa hebat-hebat dan terkenal, warga pada ngumpul. Banyak banget. Bukan untuk dukung saya sebenarnya, tapi buat ngeliat pertunjukan seninya. Hehehehe.

Lalu ada konvoi bareng tukang ojek. Sama sekali gak dibayar mereka. Tapi saya janjikan undian berhadiah, padahal dana belum ada untuk hadiahnya. Gak taunya ramai banget! Sponsor lihat, wah kayaknya menang, nih. Akhirnya digelontorkan dana Rp 50 juta. Jadi kesampaian kasih hadiah buat mereka. Nah ini bukti bahwa pendekatan lewat kesenian ternyata memiliki pengaruh yang sangat luar biasa.

Ceritakan soal keluarga bapak dan bagaimana mendidik mereka soal agama dan toleransi?

Anak senang banget sama kesenian. Si sulung suka main band, sekarang jadi manajer tari. Yang kecil hobinya dalang.

Pernah di satu masa saya menangis. Pada 2008, keluarga saya di'bully' habis-habisan. Rumah dikepung, dilempari batu. Ditambah anak pulang sekolah, bawa stiker bertuliskan 'Dicari Dajjal Sunda'. Matanya berkaca-kaca. Saya sedih banget kalau ingat hal itu. Tapi saat si sulung kelas 5 SD, dia punya banyak teman. Dia gerakkan teman-temannya mencabut spanduk-spanduk, stiker, dan selebaran lain yang menghina saya. Itu luar biasa. Hampir 100 orang temannya menurunkan dan merobek semua spanduk dengan tulisan tersebut. Militan banget. Mereka sudah biasa dengan tekanan. Setiap perlakuan apa pun kini kami terima dengan senyum. Itu termasuk pelajaran toleransi juga buat mereka.

Belajar agama biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Salat dan puasa sudah saya ajarkan sejak kecil. Dibiasakan. Tapi namanya anak-anak, kadang puasa jadi beban buat mereka. Pernah saya pergoki anak-anak buka kulkas. 'Gak kuat', gitu katanya, hihihi. Namanya juga anak kecil. Saya dulu juga begitu. Malah saya jalan 5 kilometer sambil memanggul padi atau rumput yang beratnya mencapai 40 kilogram. Apalagi pada 1976, saat puasa, kemarau panjang. Wah, itu berat banget. Saya suka mengakali supaya puasa kuat. Jadi kalau lewat sungai, berendam sebentar sampai kepala, hahahaha.

Anak-anak sekarang 'mah' gak ada yang melakukan pekerjaan berat-berat. Sahurnya juga cukup gizi. Bayangkan kita dulu. Sahur cuma nasi sama garam. Buka puasa pakai kelapa dikerok lalu diberi gula. Itu juga sudah mewah.

Berhasil atau tidakkah saya mendidik mereka beragama? Bisa dilihat dari sikap-sikap mereka pada orang lain. Pada orangtuanya juga. Mereka anak-anak yang luar biasa. Patuh pada kami, jujur, rajin, bisa menyesuaikan diri, gak suka bolos dari sekolah, gak ikutan teman-teman yang kurang baik, dan jarang jajan, lho. Sekalinya jajan beli alat musik, atau beli wayang, hehehe.

Bupati Purwakarta, Bapak Dedi Mulyadi. (Fotografer: Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Lantas, masa kecil bapak sendiri?

Saya ini anak bungsu. Nakal tapi sekaligus manja sama ibu. Saya juga sangat bawel. Kalau disuruh mandi harus dipukuli dulu. Cerita masa kecil saya sangat berkesan. Saya ingat banget suka gak kebagian sabun. Saya anak ke-9 dari 9 bersaudara. Bayangkan. Bapak kan tentara, suka dapat jatah sabun, pasta gigi, dan lain-lain. Itu cuma kuat 10 hari saja.

Kenakalan yang paling parah menurut saya yakni suka 'nyolong' mangga. Saya punya uwak (bibi) pelit banget. Punya pohon mangga berbuah banyak tapi kita gak dikasih. Cuma boleh ambil yang sudah jatuh. Akhirnya kita timpukin sampai jatuh, hahahaha.

Dulu kalau Ramadan kayak gini, saya dan teman-teman suka bikin keusilan di masjid. Pas tarawih suka dorong-dorongan. Saya juga suka ambil mukena kakak saya dan ditaruh di kentongan. Dulu kan belum ada listrik. Kentongan itu saya gantung di pohon duren. Wah, orang pada kabur semua, hahahaha.

Pas malam takbiran, sangat menyenangkan. Saya boleh nginep di masjid. Paginya kami sama-sama ke sungai dan mandi. Bahagia sekali. Lalu antar-antar kue dan kadang suka diberi uang sama saudara. Uang itu saya gunakan untuk beli limun. Wah, itu minuman paling keren semasa itu. Kalau sudah minum limun itu, rasanya kayak bos besar, hahaha.

Terakhir, bagaimana bapak melihat pendidikan sekolah sekarang?

Nah, itu salah satu yang membuat saya geram. Saya dengar guru dipenjara karena menghukum anak murid. Memang, kita tidak boleh melakukan kekerasan pada anak, tapi lihat dulu niatnya. Kalau niatnya untuk mengarahkan, mendisiplinkan, malah diharuskan. Kan bukan menyiksa. Karena itu guru-guru se-Purwakarta saya berikan pendamping pengacara. Jika mereka berurusan dengan orang tua murid yang tidak suka dengan cara dia mendidik, maka guru berhak membela diri.

Saya ini pernah gak naik kelas, lho. Waktu kelas 1 SD. Memang saya saja yang masih bodoh, gak bisa baca tulis. Waktu pembagian rapor, saya percaya diri banget. Dandan sudah keren, lalu saya pulang bawa rapor, dengan bangganya saya tunjukkan ke bapak. 'Pak, naik (kelas) nih, pak'. Eh, malah saya digebukin. 'Apaan, kamu gak naik, ini', kata bapak saya. Hahaha. Ya mana saya tahu. Saya waktu itu belum bisa baca-tulis. Saya kira 'teh' naik.

Dulu gak naik kelas, anaknya yang dimarahin. Sekarang, bisa-bisa gurunya yang 'dibawain' golok. Jadi menghukum siswa sebenarnya sah-sah saja. Tergantung niatnya dan ada undang-undang yang mengatur itu. Kalau memukul anak dianggap melanggar hak asasi, ibu saya sudah dipenjara dari dulu. Wah, ibu paling sering memukul saya. Tapi kan memukul dengan kasih sayang, supaya anaknya jadi orang benar. Begitu pula guru, mereka menghukum agar siswa bisa terarah dengan baik dan ini gak bisa dianggap sebagai kekerasan pada anak. Harus bisa membedakannya, ya.

 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading