Sukses

Lifestyle

Editor Says: Antara Lahir dan Mati Miskin

Fimela.com, Jakarta Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang memiliki orangtua yang berpendidikan tinggi, ada juga yang tidak. Ada orang yang terlahir di sebuah keluarga dokter, ada juga yang orangtuanya hanya mengenyam bangku sekolah beberapa tahun. 

Mengenai status sosialnya pun berbeda-beda. Sebagian orang, begitu lahir, berbalut selimut lembut yang mahal. Hari-harinya penuh dengan kesenangan dan tak pernah kekurangan. Apa pun yang mereka inginkan, akan langsung dikabulkan kedua orangtuanya. Sementara, ada juga anak-anak yang lahir di sebuah keluarga berkecukupan. 

Bukan hanya apa yang mereka makan dan miliki, pemandangan yang mereka lihat setiap pagi pun berbeda. Anak-anak orang kaya mungkin melihat langit-langit kamar yang terukir dan dicat dengan warna indah. Dengan hiasan kamar anak-anak yang sesuai dengan selera. 

 

A photo posted by Radim Pacak (@stehujemesenabali) on

Namun anak-anak yang hidupnya serba berkecukupan menatap langit yang luas pada saat bangun tidur. Dinginnya malam dan tetes embun yang setiap hari mereka rasakan tak pernah menjadi keluhan. Karena mereka mengalaminya sejak terlahir ke bumi. 

Saya terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Meskipun kedua orangtua saya tak memiliki harta yang berlimpah, tapi mereka berusaha untuk menciptakan lingkungan yang baik buat masa pertumbuhan saya. Saya masuk ke sebuah sekolah yang isinya, hampir semua anak-anak orang kaya. 

Berdiri di tengah-tengah tingkat sosial ini, suatu hari saya berpikir dan tersadar akan di mana saya benar-benar menginjakkan kaki. Saya melihat ada perbedaan antara anak-anak yang tidak mampu dan yang sangat mampu. Karena masih begitu kecil untuk menemukan jawaban yang bijak, saya membiarkan diri saya berpikir, kalau di dunia ini ada tiga lapis, miskin, biasa saja, dan kaya raya. Saya menempatkan diri saya di urutan yang di tengah-tengah. 

Jack Ma dan "Teori 35 Tahun"

Memiliki posisi ini kerap kali membuat saya belajar banyak hal tentang kedua sisi, atas dan bawah. Tapi pertanyaan mengenai kenapa ada lapisan itu belum juga terjawab. Saya bertanya kepada banyak orang. Mereka jawab. Tapi belum ada yang memuaskan hasrat ingin tahu saya. 

Hingga akhirnya saya 'berkenalan' dengan beberapa orang paling cerdas menurut saya. Ada Tony Robbins, Jack Ma, dan sederet CEO muda yang hingga sekarang masih saya kagumi. Tapi di antara semuanya, Jack Ma favorit saya. 

Jack Ma suatu hari menulis sebuah Opinion Editorial di sebuah surat kabar Cina. Lantas, Vulcan Post menerjemahkannya ke Bahasa Inggris. Ma menulis tentang kesuksesan yang tak kunjung orang raih. Dalam tulisan Ma tersebut, yang juga dibahas Elite Daily dengan judul Alibaba CEO Jack Ma Says If You’re Still Poor At 35, It Is Your Fault, Ma menekankan, jika di umur 35 tahun masih juga miskin, artinya itu salah dia sendiri. 

 

A photo posted by Nomor Satu (@nomor.satu) on

Membaca artikel tersebut, saya langsung tersadar ap yang dikatakan ibu saya ketika saya masih duduk di bangku sekolah. "Lahir miskin itu kutukan, tapi mati miskin, itu dosa besar," katanya. Saya juga akhirnya ingat dengan apa yang dikatakan Bill Gates. "Kalau kamu lahir miskin, itu bukan kesalahanmu. Tapi kalau mati miskin, itu kesalahanmu."

Elite Daily melanjutkan bahasannya mengenai apa yang Ma katakan. Pendiri Alibaba ini mengatakan, karena menjadi miskin bukan alasan untuk mendapatkan kasih sayang dan cinta lebih banyak, di bandingkan saat kamu menjadi orang kaya. 

 

A photo posted by Gidijobs Nigeria (@gidijobsng) on

Karena, Ma, menulis, "ketika keluarga menganggapmu tak berguna, tak akan ada orang yang kasihan kepadamu. Ketika kedua orangtuamu tak sanggup membayar tagihan rumah sakit, tak akan ada orang yang kasihan kepadamu. Ketika kamu 'babak belur' kalah oleh kompetitor, tak akan ada orang yang kasihan kepadamu. Ketika orang yang kamu kasihi meninggalkanmu, juga tak akan ada yang mengasihanimu. Dan, ketika kamu belum juga mencapai apa pun dalam hidup di usia 35 tahun, tak akan ada orang yang mengasihanimu." 

Sebuah keberhasilan dan kesuksesan tak pernah mensyaratkan orangtua yang kaya raya. Sejak saat itu, saya mulai menghitung tahun demi tahun. Saya hanya punya waktu 11 tahun dari sekarang untuk membuktikan diri sendiri, dan mewujudkan mimpi yang selama ini masih nangkring di benak. Keberhasilan seseorang mungkin memang tak melulu soal uang. Tapi pencapaian apa pun seharusnya akan membawa rezeki yang menyejahterakan. Sebagai anak muda, mari meretas batas agar tak mati dalam keadaan miskin, baik harta, ilmu, pemahaman akan kehidupan, dan kebijaksanaan hidup. 

 

 

Karla Farhana, 

 

Bintang.com

 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading