Sukses

Lifestyle

Curahan Hati: Aku Ingin Bercerai Agar Aku Merdeka

Sebut saja namanya Nada. Perempuan muda, belum 30 tahun, yang telah merasa kehilangan kebebasan dan kemerdekaannya setelah menikah dengan Gema, laki - laki yang notabene suami yang dulu dipilihnya sendiri dari sekian banyak yang menginginkannya. Nada memilih Gema dengan keyakinan Gema akan menjadi suami dan ayah teladan bagi calon anak - anaknya nanti. Keyakinan Nada yang telah pudar dan hilang seiring dengan kenyataan yang tak sejalan dengan harapan, bahkan sebelum usia perkawinannya belum juga 1 tahun berjalan. Merekapun bahkan belum dikarunia anak - anak dan belum sempat merasakan bagaimana rasanya menjadi orang tua serta berperan sebagai ibu bapak bagi anak - anaknya  Lalu, apakah yang menjadi penyebabnya? Kenapa hal ini bisa terjadi?

Apakah Nada setelah 'dibeli, dibawa, dipikul dan diboyong' merasa terikat dalam 'gembok' perkawinannya? Dari uraiannya, perkawinan yang dijalaninya justru telah berubah menjadi 'neraka' baginya. Perkawinannya dengan Gema tidak sesuai dengan yang diimpi - impikannya juga memposisikan dirinya dalam kungkungan aturan, norma dan batasan - batasan yang sebelumnya tak dibayangkannya akan sedemikian rumitnya.

Nada memang besar dari keluarga terpandang dan berada, yang memungkinkannya untuk bisa mendapatkan apa saja yang dimauinya. Kedua orang tuanya memanjakannya dan hampir selalu menuruti keinginannya. Sedangkan Gema adalah laki - laki yang berlatar belakang keluarga sederhana, bersahaja dan terbiasa untuk berusaha sendiri untuk mendapatkan yang diinginkannya. Dua dunia yang berbeda, dua karakter manusia yang terbentuk dalam melting pot yang tak sama bahkan bertolak belakang adanya. Mempersatukan keduanya dalam sebuah biduk rumah tangga memang akan menjadi sebuah proses adaptasi panjang yang penuh aral, cobaan sekaligus dinamika. Tergantung dari sisi mana melihatnya.

Ada beberapa hal yang dilupa oleh Nada dan mungkin juga Gema, bahwa perkawinan membutuhkan 100 persen doa, usaha, komitmen dan dedikasi. Tidak setengahnya atau seperempatnya, setiap saat dalam kondisi apapun dan bagaimanapun juga. Terutama di saat keadaan tak sesuai dengan mimpi dan harapan yang dimiliki sebelum perkawinan terjadi. Bahkan sampai disebutkan bahwa:

"Tak ada perkawinan dan hubungan suami-istri yang selalu cerah bak siang disinari mentari, namun sepasang kekasih sejati akan selalu berusaha berbagi payung saat hujan badai melanda dan bertahan dengan kuat secara bersama - sama hingga semua prahara mereda."

Pertanyaan pun diulang: "Sesungguhnya apakah arti dan makna sebuah perkawinan itu?" Dari sudut pandang etimologi bahasa, perkawinan berasal dari kata dasar kawin, serapan dari Bahasa Jawa Kuno yang berakar pada Bahasa Sansekerta, 'Ka-awin' atau 'Ka-ahwin', yang berarti dibawa, dipikul dan diboyong. Nah, lalu siapa yang dibawa? Siapa yang dipikul dan juga diboyong? Tentulah perempuan jika mengingat bahwa mayoritas perkawinan di berbagai suku bangsa di dunia ini adalah 'membeli' perempuan. Walau ada pula sementara budaya yang justru malah 'membeli' laki - laki.

Dalam Bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan dunia, perkawinan atau marriage lebih moderat dan seimbang arti-maknanya. Berakar dari Bahasa Perancis Lama dan Bahasa Latin yang berarti 'menyediakan laki - laki atau perempuan' untuk dimiliki. Namun perkawinan dalam Bahasa Inggris pun acapkali disebut sebagai wed-lock atau gembok perkawinan. Nah, lalu siapa yang digembok? Tentunya kedua - duanya. Walau sebagian besar masyarakat menilai perempuanlah yang selalu dalam posisi 'lebih' terikat dibandingkan laki - laki dalam tugas, hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Sebagai istri dan juga ibu bagi anak - anaknya.

Cinta sejatilah yang menjadi penguatnya. Karena cinta seharusnya tak hanya mendekatkan di saat - saat bahagia, namun justru lebih menguat di saat - saat jatuh bersama - sama ke dalam nestapa. Cinta memang salah satu modal utama, hingga disarankan untuk 'jatuh cintalah setiap hari kepada pasanganmu agar perkawinanmu abadi'.

Membandingkan dengan keadaan dan kondisi masa lalu sebelum perkawinan, apalagi membandingkannya dengan keadaan rumah tangga pasangan lainnya. Itu adalah 'virus pembunuh' paling efektif yang bisa membinasakan mahligai rumah tangga. Siapapun pasangan itu.

"Perkawinan itu bukan 50 - 50, Nada. Cerailah yang memang harus 50 - 50. Perkawinan itu bukan membagi 50 - 50 segala hal di dalamnya kepada kedua belah pihak, namun tentang bagaimana memberikan 100 yang kamu miliki! Jangan kawinlah kamu, jika hanya ingin bersama orang yang kamu bisa hidup dengannya, tapi kawinlah dengan orang yang kamu tak bisa hidup tanpanya."

Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/

(vem/wnd)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading