Sukses

Lifestyle

Melanjutkan Pendidikan dan Jauh dari Orangtua, Kutemukan Makna Cinta Sejati

Setiap wanita bisa memaknai cinta dengan caranya masing-masing. Seperti kisah Sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Bukan Cinta Biasa ini.

***

Bagaimana aku mengartikan sebuah perasaan cinta? Pada hakikatnya cinta adalah sebuah perasaan yang suci dan tulus karena cinta dihadirkan oleh Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang sebagai anugerah bagi penciptaannya. Bukan cinta jika membawa bahaya. Bukanlah cinta jika membawa duka. Cinta adalah perasaan agung yang menciptakan kedamaian dan kenyamanan. Maknanya begitu luas. Cinta tidak harus melulu tentang lawan jenis, cinta tidak harus selalu dibalut dengan suasana romantisme, cinta tidak harus selalu tentang dua insan yang terjalin dalam suatu hubungan dan status pacaran. Percaya atau tidak cinta lebih dari itu semua. Sangat sulit dibayangkan bagaimana jadinya kehidupan jika cinta tidak hadir dan mengetuk pintu hati serta merasuk ke dalam sanubari. Mungkin hanya permusuhan dan pertengkaran yang akan mewarnai kehidupan manusia. Karenanya keberadaan cinta sebagai penawar dari setiap perbedaan. Jika seseorang enggan membuka pikiran dalam memaknai cinta, tentu ia akan berpikir seribu kali jika dihadapkan pertanyaan, “Pernahkah kamu merasakan cinta yang tidak seperti biasanya?” Dalam kehidupan, aku sudah menjadi saksi tentang keberadaan “bukan cinta biasa”. Bukan hanya menjadi saksi, aku pun pernah menjadi pemerannya dan merasakan langsung kekuatan energi positif tersebut. Aku dapat memahami apa dan bagaimana cinta yang tidak seperti biasanya dari kedua malaikat perantara tangan dan wujud Rabb-ku untuk menjaga dan merawatku di dunia. Aku mengerti bahwa “bukan cinta biasa” adalah perasaan cinta yang tidak dapat dideskripsikan, cinta yang tercurah atas dasar rasa ketulusan. Sejak hadir di antara keduanya tiada hari tanpa cinta dan kasih sayang yang selalu diberi. Cintanya amat besar dan penuh pengorbanan. Bagaimana tidak? Ibuku rela berkorban mengajukan nyawanya sebagai jaminan demi amanah yang dititipkan. Lantas sampai di sana sajakah pengorbanannya? Tidak. Keduanya rela mengorbankan apa saja yang dimilikinya tanpa berpikir panjang jika menyangkut kehidupan anaknya. Rela berjumpa dengan fajar dan berkejaran dengan putaran arah jarum jam hingga menghantarkannya menyaksikan senja demi mencukupi kebutuhan dan memenuhi impian sang anak menjadi seorang wisudawan. Cintanya tak pernah mengharap imbalan dan tiada batasan. Jika cintanya mengharap imbalan, tidak akan ada sesuatu pun yang sanggup menggantikan. Dan jika harus mendeskripsikan momentum yang paling berharga dan membuatku merasa cinta terhadap kedua orangtuaku mungkin aku akan terdiam dan merasa bingung. Aku terdiam bukan karena aku tidak mencintai kedua orangtuaku tetapi karena terlalu banyak waktu yang kulewati bersamanya hingga terlalu banyak momentum berharga yang membuatku jatuh cinta setiap harinya.

Cinta orangtua yang terindah./Copyright dok. Ummi Zaini RahmawatiSatu harapan yang didambakan, dengan perasaan cinta yang tak berujung akan selalu menyalurkan energi dan perilaku positif hingga terwujud dalam rasa baktiku terhadap keduanya. Rasa cinta yang begitu besar membuatku merasa bersalah jika pada suatu hari nanti aku tidak mampu membahagiakan keduanya. Dorongan yang kuat itu kemudian hadir sehingga aku bertekad akan mewujudkan mimpi-mimpi satu demi satu sebagaimana yang telah direncanakan sedemikian rupa, agar kelak ketika masa lansia keduanya telah tiba aku mampu memberinya kehidupan layak karena pada saat itu pula kedua orangtuaku akan menjadi amanah bagiku.Aku telah merencanakan segala sesuatunya terutama pendidikan. Pada saat ingin memasuki sekolah menengah pertama, aku memutuskan untuk merantau. Lebak-Banten adalah kota yang kupilih untuk melanjutkan pendidikan. Mungkin terdengar dekat dengan ibukota Jakarta, tetapi bagiku di saat memasuki umur yang belum cukup matang dan harus berpisah dengan kedua orang tua tanpa sanak saudara adalah hal yang berat. Pondok pesantren La Tansa adalah tempat di mana aku berlabuh, mengubah sedikit identitasku menjadi seorang santri. Mencari keseimbangan dalam kehidupan itulah alasan mengapa aku memilih bersekolah di pondok pesantren. Tinggal di asrama dengan berbagai macam peraturan ketat yang harus ditaati serta berbagai masalah yang harus dihadapi dan diselesaikan sendiri, tidak ada hiburan seperti televisi, menu di pagi hari yang tersedia hanya tahu, tempe, dan mie dan akan selalu begitu setiap harinya, dan masih banyak hal-hal tidak enak yang terlintas dalam benakku.

La Tansa./Copyright dok. Ummi Zaini RahmawatiSatu minggu dua minggu tiga minggu merasa terasa berat. Walau berat aku meyakinkan diri sendiri bahwa segala sesuatu butuh proses dan pantang untuk melanggar komitmen yang telah dibuat. Dari sini aku mendapatkan ilmu kehidupan yang teramat berharga yaitu diawali dengan keterpaksaan membuatku merasa terbiasa dan aku yakin suatu saat ini akan mendatangkan hasil yang luar biasa. Satu tahun dua tahun tiga tahun, waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa aku mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama bahkan perasaanku telah menyatu dengan pondok ini dan enggan untuk meninggalkannya. Prasangka buruk tentang betapa sengsaranya hidup di asrama salah besar. Itu semua hanyalah ketakutan belaka.

Bahagia tinggal di sini./Copyright dok. Ummi Zaini RahmawatiJika hidup ibarat perjalanan panjang, maka kita adalah musafir. Menyusurinya seiring berputarnya arah jarum jam hingga detik terakhir sebagaimana termaktub dalam goresan takdir. Berhijrahnya seorang musafir akan menghantarkan mereka bertemu dengan orang banyak yang terasa asing baginya. Namun, di kala musafir itu bermukim sejenak maka hilanglah keberadaan orang asing tersebut dan yang ada hanyalah sebuah keluarga baru walau tidak sedarah dan satu persusuan. Hal itulah yang saya rasakan. Lagi-lagi aku merasakan cinta yang tidak biasa. Selama merantau aku dapat lebih memahami apa arti dari “bukan cinta biasa”.Sungguh aku benar-benar merasa jatuh cinta dengan wadah mujahidin dan mujahidah di mana aku banyak menggoreskan pena, menimba ilmu dunyawi dan ukhrowi, menghayati setiap detik menit yang terlewati. Pondok pesantren yang terletak di antara dua lembah ini berhasil membuatku menjalankan hari-hari dengan rasa cinta dan keihklasan. Suasananya begitu tenteram dan damai, jauh dari keramaian dan hingar bingar kemewahan dunia. Bagiku pondok ini bukan sekedar tempat untuk bersinggah tetapi pondok ini adalah ladang mencari pahala. Bagaimana mungkin aku tidak dibuat merasa jatuh cinta dengan tempat yang senantiasa menghantarkanku untuk meletakkan kening dan lutut untuk bersujud, membuatku lebih dekat dan lebih cinta kepada yang maha cinta Sang Pencipta.

Kebersamaan./Copyright dok. Ummi Zaini RahmawatiBukan hanya pondoknya, ibarat rumah di dalamnya aku memiliki banyak keluarga. Sejak saat pertama kali masuk, seketika para sosok asaatidz dan ustadzaah (guru) menjelma sebagai orangtua keduaku. Bukan hanya itu, bahkan beliau mampu menempatkan dirinya di setiap situasi yang berbeda. Pada saat tertentu mereka mampu menjadi sahabat dan kakak bagiku. Setiap ilmu dan nasihat yang diberikan mampu mengubah kepribadianku. Beliau semua adalah motivator terbaik yang pernah ada. Tak pernah lelah memberi semangat di kala diriku merasa putus asa, tak pernah lelah mengingatkan di kala diriku lupa dan merasa bangga dan tinggi hati, tak pernah lelah memberikan solusi dan saran untuk setiap masalah yang aku keluhkan, dan hal yang paling penting dari lainnya adalah beliau (para asaatidz dan ustadzaah) tidak pernah membuat saya merasa seperti orang lain melainkan beliau anggap sebagai anaknya sendiri. Segala kebaikan yang tercurah membuatku mencintai mereka bak cintaku terhadap kedua orangtuaku. Lagi-lagi aku merasakan cinta yang luar biasa. Sebagaimana kedua orang tuaku, beliau tidak pernah mengharapkan imbalan apapun. Uang pendidikan yang dibayarkan setiap bulannya tidaklah sebanding dengan apa yang sudah diberikan kepadaku. Itulah yang membuatku bangga menjadi seorang santri. Tumbuh besar di bawah asuhan dan kasih sayang seorang kyai dan asaatidz, semuanya membuatku percaya walau hidup jauh dari kedua orang tua tapi santri tidak akan pernah kehilangan rasa kasih sayang dan perhatian.

Sudah seperti keluarga./Copyright dok. Ummi Zaini RahmawatiSaat pertama, kukira hanya aku yang merasa sedih tetapi setelah beberapa hari aku sadar bahwa ada begitu banyak anak yang bernasib dan merasakan hal yang sama sepertiku. Sama-sama merasa sedih karena harus tinggal jauh dari orang yang disayangi demi mencari ridho ilahi. Ya. Mereka semua adalah orang asing yang seketika menjelma sebagai keluarga baruku. Yang terjalin bukan sekedar tali pertemanan melainkan tali persaudaraan yang begitu kuat bak kakak dan adik. Hidup bersama selama enam tahun lamanya membuat kami saling menyayangi dan mencintai. Mereka memiliki arti lebih dari sahabat hingga aku merasa bingung harus kusebut sebagai apa mereka. Mereka selalu ada untuk berbagi cerita, berkeluh kesah, dan bersandar di saat lelah. Suatu ketika aku sakit dan hanya berbaring lemas mereka siap siaga merawatku hingga aku lekas sembuh. Jika ada kata-kata mutiara yang berbunyi, "Sebaik-baiknya teman adalah mereka yang menunjukkan kepada kebaikan," maka itu adalah mereka. Dan aku  selalu berdoa, "Ketika Rabb mempertemukan kami di tempat yang mulia dengan niat yang suci semoga Rabb ku memperkenankan kami untuk bertemu kembali di tempat yang teramat mulia, hingga Ia jadikan kami sahabat dunia akhirat."

Banyak ilmu yang sudah didapat./Copyright dok. Ummi Zaini RahmawatiHarapanku semoga saja ukhuwah islamiyyah yang terjalin tidak akan pernah putus dan akan selalu erat seberapapun jarak yang memisahkan. Setiap pertemuan tentulah ada perpisahan. Selesai sudah pendidikanku selama enam tahun. Laksana musafir aku harus berhijrah kembali dari tempat yang kupijaki. Rasanya sangat berat melangkahkan kaki keluar dari pondok ini. Berpisah dengan mereka yang selama ini selalu ada untuk terus mendampingi. Karena tanpa bimbingan dan ilmu yang diberikan sangatlah mustahil bagiku untuk bisa menjadi lulusan terbaik diantara yang lainnya. Karena orang-orang hebat seperti merekalah aku mampu mewujudkan impianku untuk duduk bersimpuh di hadapan kedua orang tuaku mengucap syukur dan terimakasih atas segala sesuatu yang dikorbankan hingga aku mampu membuat keduanya menangis haru dan merasa bahagia atas prestasi yang mampu aku raih. Di hari wisuda aku mengucap janji dalam hati kecilku bahwa sampai kapanpun aku tidak akan pernah melupakan satu hal sekecil apapun itu yang pernah kualami di tempat mulia ini. Kenangan bersama orang-orang terpilih terlalu sayang untuk dilupakan dan sangatlah indah untuk menghiasi cerita hidupku. Sebaik-baiknya perasaan cinta adalah ketika kita mampu mencintai Sang Pencipta dengan mencintai sesama ciptaan-Nya.Terima kasih telah mengajarkanku arti dari ketulusan cinta. Cinta hakiki adalah perasaan cinta yang tidak akan ada cukup kata  untuk mendeskripsikannya.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading