Sukses

Lifestyle

Hari Perempuan Internasional, 4 Perempuan Muda Hebat Ciptakan Solusi Iklim dari Masalah Sampah hingga Pemburuan Hewan

Fimela.com, Jakarta Hari Perempuan Internasional diadakan setiap tahunnya pada (8/3). Peringatan ini pun menjadi pengingat prestasi perempuan di seluruh dunia di dalam politik, ilmu pengetahuan, seni, budaya, olah raga, teknologi dan lainnya.

Kini perempuan pun sudah bebas mengenyam pendidikan, memiliki profesi apapun, termasuk berperan aktif dalam menciptakan solusi iklim di muka bumi. Sebab seperti yang kita tahu jika bumi sudah semakin tua, sudah banyak bencana hingga global warming. 

Melansir share.america.gov, berikut ini beberapa perempuan yang berperan aktif memberi solusi menyoal iklim. Bahkan, perempuan-perempuan ini diakui inisiatif Stasiun Inovasi Departemen Luar Negeri AS, yang membangun jaringan perempuan dan anak perempuan inovator iklim dari Amerika Serikat dan seluruh dunia.

Siapa saja mereka? Yuk kita intip.

Anika Puri

Cerita berawal ketika Anika Puri mengunjungi keluarganya di India saat masih kecil, dia dikejutkan oleh banyaknya ukiran gading yang dijual di pasar Bombay.

Dari situlah, ia langsung mencari cara cara membantu pihak berwenang melacak dan menangkap pemburu gajah di Afrika dan India.

Pesawat nirawak (drone) yang digunakan untuk melacak pemburu liar mengalami kesulitan membedakan antara manusia dan hewan. Akhirnya, Puri pun membuat Aplikasi ElSa (kependekan dari Elephant Savior) yang menggunakan kecerdasan buatan untuk membedakan keduanya.

Aplikasi ini memiliki tingkat keberhasilan 90% dalam mendeteksi pemburu liar di suaka margasatwa. Puri berharap ElSa akan digunakan di seluruh dunia untuk memudahkan mendeteksi pemburu liar dan dengan demikian melindungi populasi gajah yang terancam punah.

“Pembuatan ElSa adalah untuk menerapkan metodologi dan model ini dengan sistem yang sudah ada di taman-taman nasional,” ujarnya.

Erin Ashe

Dibesarkan di Kawasan Barat Laut Pasifik, membuat Ashe pernah melihat orca di lepas pantai Pulau San Juan bersama bibinya saat kecil.

“Momen itu benar-benar melekat di memori saya. Rasanya seperti hanya ada kami dan paus-paus itu,” katanya. Saya menyadari bahwa paus-paus pembunuh ini sedang terancam, populasinya mengalami masalah,” katanya.

Setelah menerima gelar Ph.D. dalam bidang biologi kelautan dari University of St. Andrews di Skotlandia, Ashe memutuskan untuk mendalami konservasi laut dalam skala yang melampaui penelitian doktoralnya. Dia dan Rob Williams, yang sekarang jadi suaminya, mendirikan Oceans Initiative untuk mengumpulkan data tentang populasi mamalia laut dan masalah yang berkembang di Samudra Pasifik.

Temuan mereka akan membantu pembuat kebijakan memahami dampak perubahan iklim, polusi suara, dan polusi plastik terhadap kehidupan laut.

Fatema Alzelzela

 
 
 
View this post on Instagram

A post shared by UN Environment Programme (@unep)

Alzelzela memperhatikan bahwa tempat pembuangan akhir sampah di negaranya, Kuwait, sangat banyak. Melihat hal tersebut, ia pun ingin melakukan sesuatu dengan tindakan yang nyata.

Ia dan saudara perempuannya memutuskan untuk menggunakan tabungan mereka yang terkumpul untuk membentuk organisasi nonpemerintah, EcoStar, yang akan membuktikan bahwa sistem daur ulang nasional adalah hal yang mungkin untuk dijalankan.

Hingga akhirnya ia merekrut para sukarelawan—terutama perempuan dan anak perempuan—untuk membantunya, dan dalam waktu singkat mereka mendaur ulang ratusan metrik ton sampah.

Patricia Kombo

Selama perjalanan ke Kenya bagian utara, Patricia Kombo ia merasakn iklim yang lebih kering dan bagaimana anak-anak setempat memiliki akses sangat terbatas terhadap tanaman hijau atau air. 

Ketika dia pulang ke Mbooni pada 2019, akhirnya ia meluncurkan organisasinya, PaTree, untuk melibatkan sekolah-sekolah setempat untuk menanam pohon di kota-kota mereka. 

Sejauh ini, PaTree telah bekerja sama dengan 15 sekolah untuk menanam 15.000 pohon. Selama masa pandemi, organisasi tersebut beralih mengedukasi anak-anak sekolah tentang cara menanam tanaman baru dari biji mangga dan alpukat. 

“Kami menyadari ada kesenjangan dalam hal pangan dan memberikan bahan pangan [bagi keluarga] agar tetap sehat. Saya melihat bahwa dampak terbesar dihasilkan ketika kita bekerja bersama anak-anak,” kata Kombo. 

Kombo ingin memperluas organisasinya untuk mengembangkan kurikulum untuk mendidik anak-anak tentang lingkungan hidup. Dia percaya tindakan langsung adalah cara terbaik untuk memerangi krisis iklim. 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading