'Mbak Jalan-Jalan Terus, Pantesan Nggak Segera Punya Anak'

Fimela diperbarui 26 Jul 2018, 13:00 WIB

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Aku percaya bahwa Allah’s timing is always right, never too late, never too early. Dan berbekal keyakinan ini, aku menghadapi ketakutan terbesarku saat ditanya kapan punya anak juga saat dianggap ‘telat hamil’.

Lahir, sekolah, bekerja, menikah, punya anak, menyekolahkan anak, menikahkan anak dan seterusnya hingga akhirnya meninggal – sebenarnya meninggal bisa saja datang di fase lain, tapi mostly fasenya seperti ini. Satu siklus mainstream manusia yang akan berulang begitu seterusnya hingga generasi-generasi berikutnya. Siklus ini rasanya tak lengkap jika tak diiringi pertanyaan-pertanyaan menyentil para kepo-ers yang diawali kata kapan. Kapan lulus? Kapan kerja? Kapan nikah? Kapan punya anak? Tapi anehnya nggak ada tuh yang nanya kapan mati.



Di usia pernikahanku yang berjalan selama dua setengah tahun ini, aku dan suami belum juga diberikan amanah berupa momongan. Hal yang sebenarnya di luar rencana kami. Aku sendiri sebenarnya sangat menginginkan anak setelah menikah, tak ada sekalipun tebersit niat untuk menunda. Tentunya kami tak tinggal diam, ada beberapa usaha yang dilakukan. Dan ikhtiar kami rasanya tak cukup sopan jika harus diumbar ke semua orang apalagi melalui media sosial . Cukup aku, suami dan Allah SWT yang tahu. Jadi selama ini, isi medsosku hanyalah yang senang-senang saja termasuk aktivitas traveling ke beberapa negara. Hingga suatu hari terlontar pertanyaan yang sangat menyesakkan dada.

“Mbak jalan-jalan terus, pantesan nggak segera punya anak. Emang sengaja nunda ya?”

Pertanyaan yang terlontar melalui DM Instagram yang bahkan aku tak mengenal dekat orang tersebut. Pertanyaan yang seolah menyalahkanku atas nikmat Allah SWT yang diberikan padaku. Bukannya jalan-jalan itu hak semua orang? Dan atas dasar apa dia menuduhku sengaja menunda momongan? Sungguh pertanyaan yang membuat hati ini perih.



Ada lagi satu pertanyaan yang serupa tapi berasal dari keluarga jauh. “Kapan isi? Pergi-pergi terus."
Waktu itu aku memang sering bepergian ke luar kota bahkan ke luar Indonesia. Memangnya aku salah kalau menjalankan amanah dari kantor untuk dinas luar kota bahkan dinas ke luar negeri? Justru kalau aku tak pergi, aku menjadi tak amanah. Dan yang lebih penting lagi, suamiku memberikan ridho dan izinnya padaku untuk menjalankan tugas tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang kadang membuatku berpikir dua kali untuk menghadiri acara kumpul-kumpul baik dengan keluarga ataupun teman. Tapi lama kelamaan aku sadar bahwa tak terlalu penting menanggapi pertanyaan kapan tadi dengan hati. Sebaiknya cukup dijawab dengan, "Doakan aja."



Dan aku selalu yakin bahwa Allah SWT akan menjawab berbagai pertanyaan ‘kapan’ yang berkecamuk di hati melalui waktu. Jadi seharusnya tak akan ada istilah ‘telat lulus’, ‘telat nikah’, ‘telat punya anak’ dan berbagai ‘telat’ lainnya dalam kamus kehidupan. Kalaupun ada, berarti yang memberikan label tadi adalah mereka yang kufur nikmat alias tidak bersyukur atas nikmat waktu dari Allah SWT.

Lastly, tak ada yang namanya ‘telat’, semua berjalan sesuai rencana Allah SWT di waktu yang tepat. Tak ada yang berhak melabeli ‘telat’, kalau Allah SWT telah menentukan. Dan tak ada istilah ‘telat’, jadi tak perlu lagi kalian tanya ‘kapan?’

(vem/nda)