Perpisahan Tak Selalu Jadi Kesalahan, Bisa Jadi Proses Menuju Pendewasaan

Fimela Editor diperbarui 15 Jul 2021, 03:16 WIB

Sudah berencana akan menikah tapi kemudian malah berpisah. Kenyataan ini memang pahit tapi tetap harus dihadapi saat benar-benar terjadi, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Aku Ningsih, masih berusia 19 tahun. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Aku bekerja di salah satu resto daerah Malang sekaligus menjadi tulang punggung di keluarga semenjak lulus SMK, karena ayah tidak bekerja sementara ibu sudah meninggal saat. Adikku masih sekolah kelas 1 SMA di salah satu sekolah daerah Batu. 

Kadang aku iri dengan mereka yang orangtuanya masih lengkap. Ada ibu dan ayah. Ketika ada masalah ibu dan ayah memberi solusi dan membimbingnya. Tetapi kehidupanku berbeda, tidak ada ibu dan tidak akrab dengan ayah. Memendam masalah sendiri membuatku stres dan sering sakit. Hingga pernah aku berdoa ingin memiliki pacar  untuk membantuku menuju kedewasaan.

Jujur menikah muda adalah cita-citaku. Alhamdulillah sebagian doaku terkabul, aku memiliki pacar. Pacarku orang Madiun berusia 23 tahun. Kami memiliki hubungan yang serius untuk ke jenjang pernikahan. Sebenarnya kami sama-sama anak pertama, jadi ego kami besar. Mencoba saling menghormati dan menerima pendapat masing-masing. Satu tahun berjalan bukan waktu yang sebentar, kami selalu bersama suka dan duka, orangtua kami sudah mengetahui hubungan kami. Niat untuk menuju jenjang lebih lanjut kami putuskan saling mengenalkan ke orangtua masing-masing. Alhamdulillah keluarga pacarku menerima dan menyambutku dengan baik begitu pula di keluargaku. Semakin mantap dan percaya diri pada hubungan serius ini. Walaupun kami belum punya modal sama sekali. Semoga dengan memiliki niat dan tujuan akan dimudahKan. Amin.Kami LDR, awal hubungan kami lancar dan sering komunikasi. Lalu lama-lama kami jarang komunikasi dan sibuk bekerja. Kuabaikan dan mencoba juga sibuk. Hingga kami tidak komunikasi sama sekali. Ada apa dengannya? Gelisah dan khawatir. Aku mencoba menghubunginya, akhirnya dibalas dan orangtuanya tidak merestui hubungan kami, pacarku langsung minta putus. Aku tahu dia dilema dan bingung, pilihan antara aku dan orangtuanya. Jika aku di posisi dia aku lebih memilih orangtuaku. Seketika pikiranku kacau dan berhari-hari aku stres bahkan aku lupa kapan terakhir makan.

Untuk apa hubungan ini dilanjutkan tanpa restu orang tua? Aku sulit berkomunikasi dengannya karena dia jarang main HP. Nekat aku berangkat ke Madiun untuk menyelesaikan debat hati ini. Akhirnya kami mengalah dan putus baik-baik. Aku pun masih belum merelakan dia. Aku tahu dia juga mencintaiku bahkan sempat aku melihat dia menangis diam-diam. Ikhlas mudah diucap tapi terasa berat di hati. Entah kenapa terjadi pada kami. Inikah proses pendewasaan yang ada pada doaku?

Melawan perasaan dan berdamai kami mengambil jalan masing-masing, saling mencari jati diri. Masa depanku masih panjang, sia-sia kalau hanya untuk hal ini. Tuhan sayang padaku, aku tahu itu. Kulupakan cita-citaku untuk menikah muda. Trauma masih terasa sampai saat ini. Aku sibuk bekerja dan mengabaikan banyak laki-laki baik yang singgah. Fokus bekerja dan malas untuk memulai hubungan baru. Aku mulai memanjakan diriku sendiri dan mengejar impianku. Semoga nanti beberapa tahun kemudian, kalau kami memang berjodoh pertemukan kami dan mudahkan menuju ridho-Mu.

(vem/nda)

What's On Fimela