Telepon Umum Koin dan Nostalgia Cerita Masa Kecil

Endah Wijayanti diperbarui 14 Agu 2021, 09:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pun pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu, seperti pengalaman yang dituliskan Sahabat Fimela dalam Lomba My Childhood Story: Berbagi Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan ini.

***

Oleh: Ratri Ade Prima Puspita

Belum lama sore lepas dari genggaman hari, ketika kaki melangkah, melewati pintu geser otomatis kereta api Commuter wilayah 6 relasi Yogyakarta-Solo Balapan. Kini, kaki saya menapak di lantai peron tinggi Stasiun Lempuyangan.

Mendengar nama Stasiun Lempuyangan, barangkali nama ini kalah tenar dibanding Stasiun Yogyakarta atau yang kerap kita tahu bernama Stasiun Tugu. Namun, jika teman-teman menuju ke Yogyakarta dari arah timur, entah itu naik kereta api lokal, aglomerasi maupun jarak jauh, Stasiun Lempuyangan menjadi tanda bahwa teman-teman resmi memasuki Kota Yogyakarta.

Menenteng tas berisi mantel dan payung lipat serta helm putih, saya turun bersama-sama dengan penumpang lainnya. Karena saya berada di kereta terdepan, yang satu rangkaian dengan kabin masinis, maka ketika turun, terlihat posisi saya berada jauh paling belakang. Penumpang yang turun dari rangkaian kereta depan pun tidak sebanyak penumpang yang berada di rangkaian belakang.

Usai menyeberang satu jalur rel aktif, sampailah saya di ruang tunggu penumpang yang sepi. Singgah di salah satu bangku, saya mengeluarkan handphone dari dalam saku jaket merah marun. Aplikasi komunikasi instan dibuka, beberapa kata diketik kemudian dikirim kepada adik saya yang akan menjemput. Pesan melayang, menunggu balasan. Ketika menanti balasan itulah, kedua mata saya menangkap telepon umum koin!

Sebuah telepon umum koin warna biru dan bergagang hitam menempel pada salah satu tembok stasiun. Dilihat dari fisiknya, telepon umum koin itu masih cukup baik meskipun tampak usang tanda dimakan waktu dan dipegang banyak tangan. Sebuah stiker yang tak lagi utuh menempel di badan telepon. Melihat telepon umum koin itu mengingatkan akan satu babak cerita di masa kecilku.

 

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Telepon Rumah dan Telepon Koin

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/MIAStudio

Sekitar tahun 90-an, rumahku baru saja memiliki fasilitas telepon rumah. Kala itu, telepon rumah termasuk fasilitas mewah untuk ukuran keluarga dan tempat tinggalku yang berada di lingkungan perkampungan padat penduduk. Jumlah warga yang memiliki telepon rumah bahkan bisa dihitung dengan jari tangan.

Sebelum telepon rumah terpasang, jika ingin menelepon teman sekolahku untuk menanyakan pekerjaan rumah misalnya, maka telepon umum koin terdekat jadi tujuanku. Yang kumaksud dengan telepon umum koin terdekat ialah telepon umum koin yang berada di depan kantor pos dan di pos satpam sebuah kantor milik pemerintah. Aku adalah pelanggan setia kedua telepon umum koin tersebut sebab untuk menjangkaunya, aku cukup berjalan kaki. Medan yang aman bagi seorang anak perempuan usia sekolah dasar.

Ketika telepon rumah resmi terpasang, sontak, aku girang bukan main. Aku merasa, rumahku seperti rumah teman-teman sekolahku yang memiliki fasilitas telepon rumah. Rasa girang kemudian berkembang jadi rasa ingin tahu: bagaimana nada sambungnya? Apakah dering teleponku sama seperti dering telepon di rumah teman-temanku? Apakah nada panggilnya terdengar kencang hingga ke luar rumah?

Saking ingin segera mendapatkan jawaban, sore hari, usai mandi, aku pergi ke telepon umum langgananku. Sengaja kupilih telepon umum koin yang menempel pada dinding sisi barat pos satpam kantor pemerintah daripada telepon umum di depan kantor pos biar sekalian jalan-jalan. Untung saja, telepon umum koin itu tidak rusak. Fasilitas publik, kan, ada kalanya mengalami kerusakan, entah karena faktor mekanis atau ulah si tangan jahil.

Kumasukkan koin rupiah lalu kupencet angka demi angka sesuai nomor telepon rumah yang sudah kuhafal. Beberapa waktu kemudian, dari dalam gagang telepon, terdengar nada sambung hingga berganti jadi suara orang yang kukenal di seberang sana. Aku tidak percaya jika di rumah sudah terpasang pesawat telepon.

Pulangnya, aku tidak hanya mendapat kegembiraan tetapi juga layang-layang yang kupungut dari balik pos satpam. Layang-layangnya yang masih bagus itu kubawa pulang dengan menyimpan rasa deg-degan sepanjang jalan. Aku takut bertemu dengan pemilik layang-layang itu di jalan lalu dia akan merebut layang-layang itu dariku. Untung saja, aku sampai rumah dengan selamat.

Ah, serunya masa-masa awal memiliki telepon rumah. Telepon rumah yang tidak hanya bermanfaat bagi keluargaku tetapi juga tetangga. Telepon rumah yang tidak hanya menghubungkan diriku dengan teman-temanku tetapi juga tetanggaku dengan keluarganya yang berada nun jauh di suatu tempat.

#ElevateWomen