Cara Menanamkan Growth Mindset Pada Anak Sejak Dini untuk Hadapi Kegagalan

Amelia Salsabila AswandiDiterbitkan 18 Agustus 2025, 19:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, setiap orang tentu akan menghadapi kegagalan dalam hidupnya—tak terkecuali anak-anak. Entah itu gagal saat belajar, gagal dalam meraih juara kelas, maupun gagal saat tidak menjuarai lomba tertentu di sekolah. Cara mereka merespons kegagalan inilah yang akan membentuk mental dan karakternya ke depan.  

Di sinilah peran orangtua dan pendidik menjadi sangat penting, yakni membantu anak memahami bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya—melainkan bagian dari proses belajar yang wajar. Untuk itu, menanamkan growth mindset sejak usia dini bisa menjadi fondasi kuat agar anak tidak mudah menyerah dan tetap berani mencoba.

Growth mindset merupakan pola pikir yang meyakini bahwa kemampuan seseorang bisa berkembang melalui usaha, latihan, dan belajar dari kesalahan. Anak-anak dengan pola pikir ini biasanya lebih tangguh, tidak takut gagal, dan berani melakukan tantangan baru. Mereka cenderung melihat kegagalan bukan sebagai hambatan, melainkan sebagai peluang untuk belajar.  

Berbeda dengan fixed mindset yang membuat anak merasa bahwa dirinya “tidak bisa” atau “tidak cukup pintar”, growth mindset mengajarkan bahwa kemampuan itu bisa dilatih dan ditingkatkan. Lantas, bagaimana cara menanamkan pola pikir ini pada anak sejak dini? Jawabannya bukan hanya dari kata-kata motivasi, tapi juga dari sikap dan contoh nyata dalam keseharian. 

Mulai dari cara orang dewasa merespons kesulitan, memberikan pujian, hingga menciptakan lingkungan yang mendukung anak untuk bereksplorasi tanpa takut salah. Dilansir dari essentialresources.co.nz, berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan orangtua maupun guru dalam membentuk growth mindset pada anak sejak usia dini.

What's On Fimela
2 dari 4 halaman

1. Menjadi Contoh Lewat Perilaku

Jadi contoh yang baik dan benar untuk anak saat menghadapi kegagalan. (Foto/Dok: freepik.com)

Anak-anak belajar banyak dari apa yang mereka lihat, bukan hanya dari apa yang mereka dengar. Itu sebabnya, orangtua maupun guru bisa menjadi contoh hidup tentang bagaimana menghadapi tantangan, kesulitan, dan kegagalan. 

Misalnya, ketika orang dewasa merasa frustrasi saat mengalami hambatan, penting untuk menunjukkan cara mengelola emosi dan mencari solusi, bukan menyerah atau menyalahkan keadaan, untuk menunjukkan bahwa kamu juga belajar dari kesalahan akan memberi anak keberanian untuk melakukan hal yang sama. 

Misalnya, saat kamu mencoba resep baru dan hasilnya tidak sesuai harapan, sebaiknya katakan, “Wah, kali ini belum berhasil, ya. Tapi nggak apa-apa, aku akan coba lagi dengan cara berbeda besok.” Meskipun terdengar sederhana, namun kalimat seperti ini bisa memberi pesan kuat pada anak bahwa gagal itu bukan aib, melainkan bagian dari proses belajar yang sah-sah saja. 

2. Memberikan Apresiasi pada Proses, Bukan Hasil

Salah satu cara paling efektif untuk menanamkan growth mindset adalah mengubah fokus pujian. Banyak anak tumbuh dengan pujian seperti “Kamu pintar banget!” atau “Wah, kamu cepat banget ngerjainnya!”, yang tanpa disadari mengarah ke fixed mindset. Padahal, pujian semacam ini bisa membuat anak takut gagal karena merasa harus selalu tampil sempurna.

Alangkah lebih baiknya, kita apresiasi usaha dan strategi yang dilakukan anak. Misalnya, ucapkan, “Mama lihat kamu berusaha keras menyusun balok ini, hebat, deh, kamu nggak langsung menyerah.” Dengan begitu, anak akan memahami bahwa proses belajar dan ketekunan jauh lebih penting dibanding hasil akhir.

3 dari 4 halaman

3. Ciptakan Lingkungan Belajar yang Aman

Gunakan kalimat-kalimat yang membantu anak merefleksikan proses. (Foto/Dok: freepik.com/jcomp)

Agar anak berani mencoba hal baru tanpa takut salah, mereka butuh merasa aman secara emosional, seperti lingkungan yang suportif—baik di rumah maupun di sekolah, agar mereka lebih eksploratif dan percaya diri. Salah satu caranya adalah dengan tidak langsung mengkritik saat anak melakukan kesalahan, tetapi justru menjadikannya momen refleksi bersama.

Misalnya, saat anak salah menjawab pertanyaan, hindari komentar seperti “Itu salah, harusnya begini.” Sebagai gantinya, ajak anak berpikir, “Menurutmu, apa yang bisa kita pelajari dari jawaban ini?” Pendekatan ini memberi ruang bagi anak untuk memaknai kesalahan sebagai bagian dari proses tumbuh, bukan sesuatu yang memalukan. 

4. Menggunakan Bahasa Sehari-hari yang Mendorong Growth Mindset

Bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari ternyata punya peran besar dalam membentuk cara berpikir anak. Gunakan kalimat-kalimat yang membantu anak merefleksikan proses, seperti, “Kamu belum bisa sekarang, tapi, kan, kamu sedang belajar,” atau, “Apa yang hal lain yang bisa kamu coba lain kali?” Kalimat-kalimat seperti ini mengajarkan bahwa kemampuan berkembang seiring waktu. 

Selain itu, kamu juga bisa memanfaatkan buku cerita atau dongeng yang menampilkan karakter yang terus belajar, gagal, dan bangkit lagi. Cerita semacam ini secara tidak langsung menanamkan nilai growth mindset yang mudah dipahami dan dicerna oleh anak-anak.

4 dari 4 halaman

5. Ajarkan bahwa Otak Bisa Dilatih Seperti Otot

Berikan anak pengetahuan bahwa otak manusia bisa berkembang dan menjadi lebih “kuat” melalui latihan. (Foto/Dok: freepik.com)

Salah satu konsep penting dalam growth mindset adalah bahwa otak manusia bisa berkembang dan menjadi lebih “kuat” melalui latihan—sama seperti otot yang dilatih lewat olahraga. Anak perlu tahu bahwa kecerdasan bukan sesuatu yang tetap, melainkan bisa bertambah seiring mereka belajar dan berlatih.

Penelitian tentang neuroplastisitas menunjukkan bahwa otak akan membentuk koneksi-koneksi baru setiap kali kita mempelajari hal baru. Memberi pemahaman ini kepada anak dapat membuat mereka lebih yakin bahwa setiap usaha mereka punya dampak nyata pada perkembangan kemampuannya.

 

Sahabat Fimela, semoga cara-cara di atas dapat membantumu menanamkan growth mindset pada anak sedini mungkin, ya!