Sukses

Lifestyle

Serangga, Menu Pilihan Anak-anak Brad Pitt

Next

Ih, nggak kebayang. Lihatnya aja geli banget. No, aku mau makan yang normal-normal aja, nggak usah aneh-aneh. Masih banyak juga makanan yang sehat, nggak harus makan daging, kan.” -Soraya, 22 tahun-

“Aku pernah cobain belalang. Renyah, kok, kayak keripik. Gurih juga. Biasanya sih enakan jadi camilan, ya. Kalau yang lain, kalajengking, laba-laba, kayaknya nggak deh. Mungkin ulat sagu bisa dicoba suatu saat nanti. Kan, itu udah termasuk umum dimakan.” -Luni, 22 tahun-

Jolie dan Pitt yang berlibur bersama anak mereka ke Kamboja, tanah kelahiran anak angkatnya, Maddox, pun tak lupa mencicipi makanan tradisional di sana: jangkrik. “Mereka memakannya seperti Doritos (keripik),” kata Jolie. Jolie pun mengaku sampai membatasi makanan itu lantaran anak-anaknya tak bisa berhenti mengunyah jangkrik, “Aku takut mereka sakit karena memakannya terlalu banyak, tapi mereka baik-baik saja,” tutupnya.

Next

Jangkrik, semut, belalang, kumbang, dan kalajengking sudah umum dikonsumsi. Ulat juga tak lepas jadi menu favorit. Menurut penelitian di Uni Eropa dan Wageningen University, Belanda, serangga memiliki kandungan protein tinggi. Cacing, misalnya, mengandung protein 3 kali lipat dari per ons daging sapi. 4 ekor Jangkrik pun mengandung kalsium yang setara dengan segelas susu sapi.

Beberapa daerah di Amerika, Afrika, Kamboja, China, Afrika, Meksiko, Kolombia, Timur Tengah, Australia, dan Selandia Baru, termasuk Indonesia, memang telah menjadikan serangga makanan yang umum, tapi beberapa lainnya tengah menjadikan serangga sebagai penganan alternatif. Orang Afrika bagian selatan, misalnya, menjadikan ulat Mopani sebagai camilan, orang Jepang mengonsumsi larva serangga air, sementara orang Meksiko memakan belalang. Lebah madu, semut, dan belalang bahkan dimasukkan dalam menu London Archipelago Restaurant untuk mengampanyekan serangga sebagai makanan sehat. Namun, karena orang Eropa belum seratus persen menerimanya, menu tersebut masih disamarkan dengan label “makanan tinggi protein”.

Sektor pangan merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca yang cukup besar, yaitu sekitar 9% dari emisi karbon dioksida, terutama penggunaan lahan peternakan. Karena itulah, pengonsumsian serangga menjadi solusi tepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca berkat penurunan penggunaan lahan dan limbah peternakan, juga mengurangi intensitas kematian mendadak akibat penyakit jantung karena konsumsi daging berlebihan. Serangga juga memperbaiki asupan gizi dalam tubuh, krisis makanan global, serta penyusutan tanah dan air.

Next

 

Kita mungkin masih merasa jijik karena pola pikir kita sudah terbentuk untuk menolak serangga sebagai bahan pangan, tapi lain halnya dengan anak-anak yang masih bisa menerima serangga karena pola pikirnya bisa dibentuk. Kalau anak bisa diberi pengertian kemudian mencobanya, orang dewasa hanya bisa mencoba makan serangga untuk merasakan langsung kenikmatan dan manfaatnya. Van Huis, professor Wageningen University, mengungkapkan bahwa masalah yang dihadapi orang dewasa bersifat psikologis. Untuk menarik minat masyarakat mengonsumsi serangga, Van Huis dan tim bekerjasama dengan sekolah masak lokal guna menyediakan buku resep yang dilengkapi menu menarik.

Pernah ke Gunung Kidul? Kalau diperhatikan, kamu akan menemukan banyak pedagang menjajakan belalang di pinggir jalan. Belalang-belalang yang diuntai panjang dijual bebas untuk dikonsumsi. Atau pernah memperhatikan banyak orang berburu laron saat musim hujan? Bukan sekadar iseng, mereka memburunya untuk dikonsumsi, entah dibuat peyek atau hanya dibumbui bawang putih-garam kemudian digoreng renyah. Di Papua, penduduk biasa mengonsumsi ulat sagu, hidup-hidup atau dimasak terlebih dulu akan terasa sama lezatnya bagi mereka.

Jadi, penasaran ingin mencobanya, atau bahkan sudah menjadikan serangga sebagai menu favoritmu?

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading