Sukses

Lifestyle

Optimis VS Ambisius Raih Harapan, Pilih Mana?

Next

Mengapa tiba-tiba kami bicara tentang kehadiran anak, juga mengaitkannya dengan optimisme? Fimelova yang pernah berada di posisi “menanti buah hati”, pasti paham. Bermula dari acara Kick Andy yang menghadirkan pasangan yang menantikan anak bertahun-tahun, kami melihat ada harapan yang membuat mereka sanggup menjalani penantian tak sebentar itu. Pasangan pertama harus menunggu selama 15 tahun untuk memiliki anak. Pasangan lain baru dikaruniai buah hati setelah 21 tahun menikah. Sang istri bahkan pernah menyarankan suaminya untuk menikah lagi, walaupun saran itu ditolak dengan alasan apa yang sudah dipersatukan tidak dapat dipisahkan kecuali oleh maut.

Pada akhirnya kesabaran mereka berbuah manis. Namun, yang kemudian “menggelitik” adalah kemampuan mereka selama bertahun-tahun bertahan dalam harapan yang sama itu termasuk optimis atau malah ambisius, sih? Pasangan pertama dengan bijak mengungkapkan bahwa keajaiban selalu ada asal terus mencoba. Benar saja, lahirlah seorang anak laki-laki yang sekarang berumur 8 tahun.

Menjadi menarik ketika kita menyimak kisah pasangan kedua yang pernah mewacanakan adanya pernikahan kedua agar keinginan memiliki anak terkabul. Kalau saja ketika itu sang suami mengikuti saran istrinya, cerita menjadi berbeda. Keoptimisan berubah menjadi ambisiusitas.

Menghalalkan cara apa pun untuk bisa mendapatkan yang dimau, dan menjadi egois karena mementingkan ambisinya semata tanpa pedulikan orang lain, itulah ambisius. Kalau kata konsultan karier dari Experd, Jessica Jillian Widjaja, ambisi sebenarnya salah satu faktor penting untuk menggerakkan seseorang mencapai tujuan, kesuksesan. Namun, ambisi kemudian menjadi negatif ketika berubah menjadi ambisius. Kemauan yang sangat besar bisa menggiring siapa pun pada akhirnya tak terkendali. Keinginan untuk memiliki anak pun sangat mungkin mengalahkan komitmen dalam rumah tangga itu sendiri, yang intinya melahirkan perpisahan karena yang diharapkan dari pernikahan tak kunjung terkabul. Contoh mudahnya, kalau sang suami saat itu pilih menikahi orang lain demi anak, kehidupan rumah tangganya belum tentu sebahagia sekarang. Masuk akal?

Next

Satu contoh lagi, Martha Tilaar. Bukan tentang bisnis kecantikannya, melainkan tentang pernikahan yang sekian tahun berjalan tanpa kehadiran buah hati. Barulah di usia pernikahan ke-16 Martha bisa mengandung setelah rutin menjalani pengobatan tradisional. Sesuatu yang sebelumnya mustahil karena dia sempat divonis tak bisa memiliki anak. Martha dan suaminya, Alex, mengaku tak putus asa karena terus saling menguatkan. Pernikahan sebagai sesuatu yang sakral bagi mereka, dan memiliki anak adalah anugerahnya. Keyakinan itu yang membuat mereka menjalani pernikahan dengan sukacita, tak merasa kurang, tapi merasa makin lengkap dengan kehadiran seorang anak.

Tak perlu memaksakan diri untuk mencapai apa yang diharapkan, karena waktu pun ikut menentukan kapan saat yang tepat untuk mewujudkan segalanya. Cukup dengan bersikap optimis untuk membangkitkan semangat dan terus memiliki harapan yang baik, selebihnya biar semua berjalan sebagaimana mestinya. Seperti cerita dua pasangan di atas, juga Martha Tilaar, usaha tetap dibutuhkan, namun setelahnya tinggal menunggu waktu sampai mimpi itu “dihadiahkan” kepada kita.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading