Smaragama: Kepuasan Perempuan

Gadis Abdul diperbarui 27 Feb 2016, 19:14 WIB

Fimela.com, Jakarta Seperti halnya tabiat pasangan pengantin baru,

yang setiap saat selalu ingin bermanja dan bercumbu, dan yang gairah birahinya masih mudah nian terpicu, perilaku Sangaji dan Salindri juga begitu itu.

Maka tatkala Sangaji mendaratkan ciuman,

yang disambut Salindri dengan sepenuh kemesraan, keduanya lantas merapat erat dalam hangat pelukan, membiarkan seluruh emosi dan segenap kesadaran, luluh melenyap di dalam derasnya arus percintaan, namun ketika hanya oleh satu tekanan yang ringan, Salindri mendesis dan menyeringai kesakitan,

Sangaji dengan bijak mengambil keputusan,

untuk menghentikan percintaan di tengah jalan,

dan Salindri yang merasa telah mengecewakan,

dengan penuh penyesalan minta dimaafkan.

Mendengar itu Sangaji langsung menjawab:

"Justru akulah yang pantas mendapatkan azab, lantaran berperilaku seperti manusia tak beradab.”

Salindri pun bertanya dengan suara sendu:

'Wahai suamiku..., kenapa bicara seperti itu?

Ataukah itu berarti engkau tidak memaafkan aku?"

Sangaji menggeleng sambil berkata:

“Kalau untukmu maafku selalu tersedia,

justru maafkanlah aku yang telah begitu tega,

menyakiti dan bahkan nyaris membuatmu celaka, lantaran melupakan wejangan Kitab Smaragama."

Sangaji menatap tajam bola mata Sangaji,

kemudian berbisik perlahan dan hati-hati:

“Maukah kau membacakan bab itu lagi?"

Sangaji mengangguk dan bangkit duduk,

dan membaca Kitab Smaragama dengan khusyuk.

Setelah melewati indahnya malam pertama, kesadaran kedua mempelai hendaknya tetap terjaga, agar tak ditenggelamkan gelombang gairah bercinta, terutama ketika luka malam pertama masih tersisa,

dan kedua pasangan sama-sama asyik terlena hendaknya dilaksanakan dengan lain cara,

atau akan lebih baik lagi apabila bisa ditunda.

Karena suatu percintaan yang dipaksakan,

hanya akan kehilangan keindahan dan kenikmatan,

dan membuat mempelai perempuan kesakitan,

apalagi jika dilakukan secara kasar dan berlebihan, dikhawatirkan akan mengakibatkan pendarahan,

dan menjadi trauma kengerian berkepanjangan,

yang mencekam jiwa, membelenggu akal pikiran,

dan pada akhimya menghancurkan kebahagiaan.

Kedua mempelai hendaknya memahami,

bahwa hubungan intim atau percintaan suami istri,

bukan berarti hubungan kelamin haros pula terjadi, karena belaian dan kemesraan yang terbit dari hati, meropakan keindahan dan kenikmatan tak terperi,

yang senantiasa didambakan oleh tiap-tiap istri,

namun yang justro sering diabaikan suami.

Karena kaum lelaki terlanjur merasa yakin,

bahwa percintaan yang dapat memuaskan batin,

hanya diperoleh jika terjadi hubungan kelamin,

dan apabila percintaan itu bermakna lain,

tentu banyak lelaki yang lebih suka tidak kawin."

Sangaji tersentak kaget dan menjerit,

karena Salindri secara tiba-tiba mencubit,

sehingga Sangaji tak sempat berkelit,

hanya meringis menahan rasa sakit.

Ketika Sangaji berniat membalas,

keburu Salindri minta dibacakan sampai tuntas,

lanjutan wejangan yang ada dalam Bab Empatbelas,

yang mengungkapkan sekaligus membahas,

relevansi organ kejantanan dengan rasa puas.

Meski Sangaji masih merasa penasaran,

lantaran belum berhasil melakukan pembalasan,

Kitab Smaragama kembali dibaca perlahan:

"Ibarat sedang bermain layang-layang,

maka agar layang-layang bisa melambung terbang,

dan ketika diadu bisa tampil sebagai pemenang,

yang terpenting bukan soal panjang pendek benang, bukan pula soal besar kecilnya layang-layang.

Tanpa tahu bagaimana caranya menerbangkan, benang yang panjang akan menjadi suatu keruwetan, layang-layang besar akan menjadi sebuah beban,

dan permainanpun menjadi tidak menyenangkan, sehingga tidak dapat memberikan kepuasan,

dengan kata lain berakhir dalam kegagalan.

Benang dan layang-layang cuma sekadar alat,

agar permainan menjadi sero, indah, hebat dan nikmat, kedua mempelai perlu mencapai kata sepakat,

dalam memilih dan menerapkan sejumlah kiat.

Kedua mempelai hendaknya mengetahui,

perihal pentingnya mengatur dan menentukan posisi, demi mencapai puncak nikmat percintaan suami istri, seperti halnya pada saat angin sedang mati,

layang-layang tentu tak akan bisa terbang tinggi,

jika benang ditarik dan diulur dalam posisi berdiri, padahal seharosnya mesti dilakukan sambil berlari.

Apabila layang-layangnya kelewat besar,

sedangkan lapangan permainan tak cukup lebar,

kedua mempelai hendaknya bisa lebih bersabar,

walau berjalan lancar jangan lantas dicecar gencar,

agar permainan tak berkembang menjadi kasar,

lantaran gelora gairah terlampau bebas diumbar.

Layang-layang besar berbenang panjang,

akan lebih aman jika terbang dengan tenang,

karena gerakan yang malang-melintang,

meliuk-liuk naik turun kiri kanan silang-menyilang,

hanya membuat benang menegang kejang,

lalu putus dan layang-layangpun hengkang, meninggalkan pecundang yang sedang meradang.

Layang-layang hanyalah sekadar perumpamaan, agar masalah seks yang kini masih tabu dibicarakan, dapat lebih mudah dan lebih sopan diperbincangkan,

dan sebelum pembahasan soal seks ini dilanjutkan, berikut ini hal yang perlu dan harus disampaikan,

yakni bahwa semua yang terucap dalam wejangan, hendaknya dibaca dengan kacamata keilmuan,

didengar dengan telinga yang rindu pengetahuan,

dan hanya dilaksanakan dalam pemikahan.”

Sangaji meraih gelas berisi air putih,

dan meneguknya sampai tandas habis bersih,

lalu menoleh ke arah Salindri yang tampak letih,

dan ketika menatap bola mata istrinya yang jernih, Sangaji seperti menyelami telaga cinta kasih.

Tapi sebelum Sangaji hanyut tergoda,

dengan sikap dan suara manja Salindri meminta, dibacakan lanjutan wejangan Kitab Smaragama,

dan dengan senang hati Sangaji memenuhinya:

"Dalam memilih dan menentukan posisi,

hendaknya berdasar kesepakatan suami istri,

dan hendaknya pula kesepakatan itu diawali,

dari kesediaan untuk mencoba menikmati,

suatu posisi yang ditawarkan suami atau istri,

agar kadar obyektivitas penilaiannya cukup tinggi,

karena bukan cuma berdasarkan kebenaran teori melainkan telah dipraktekkan dan dialami sendiri.

Dan salah satu posisi terbaik dan istimewa,

bagi yang organ kejantanannya di atas rata-rata,

dan terutama bagi yang ukurannya luar biasa,

adalah apabila lelaki bersedia duduk menyangga, sehingga sang istri yang menduduki pangkuannya,

dapat mengatur irama bercinta secara leluasa."