Kisah Perempuan yang Tidak Tahu Mereka Autis

Fimela diperbarui 13 Sep 2017, 11:40 WIB

Fabienne Cazalis, École des Hautes Études en sciences sociales (EHESS)

Artikel ini ditulis bersama Adeline Lacroix, rekan kerja Fabienne Cazalis. Adeline baru-baru ini didiagnosis mengalami sindrom Asperger. Adeline adalah seorang mahasiswa magister psikologi yang sedang meneliti referensi ilmiah tentang karakteristik perempuan dengan “high functioning autism” atau autisme berfungsi banyak.


Sebut saja namanya Sophie. Deskripsi tentangnya di bawah ini boleh jadi menggambarkan para perempuan yang berada dalam spektrum autisme tanpa menyadarinya. Karena mereka pintar dan terbiasa menanggulangi hambatan komunikasi yang tidak mereka sadari, mereka tidak didiagnosis menyandang autisme karena prosedur diagnosis yang inefisien.

Berbagai studi menunjukkan, ada satu perempuan dari sembilan laki-laki yang didiagnosis dengan high functioning autism, yakni autisme tanpa ketidakmampuan intelektual. Sebagai perbandingan, ada satu perempuan dari setiap empat laki-laki terdiagnosis dengan low-functioning autism yang lebih mudah dikenali.

Hari ini, Sophie, yang tinggal di Prancis, ada janji wawancara kerja. Ia memilin-milin rambut dengan gugup, sebagaimana orang sedang cemas wawancara. Tapi Sophie berbeda. Ia sebenarnya sedang di ambang serangan panik. Di umurnya yang 27 tahun, ia baru kehilangan pekerjaan sebagai tenaga pemasaran akibat kesalahan berulang di mesin kasir. Ini sudah kejadian kedelapan dalam tiga tahun terakhir.

Belajar akuntansi sendiri di rumah

Untungnya, sang pewawancara lebih memilih membahas masa kuliah Sophie ketimbang riwayat pekerjaannya. Sophie pun merasa lega. Ia menjelaskan tentang tesisnya yakni pemodelan meteorologi. Tetapi penjelasan itu dipotong.

Sophie ditanya mengapa ia melamar pekerjaan sebagai asisten pembukuan temporer, tanpa memiliki pengalaman atau pelatihan sekali pun. Walau jantungnya berdebar, Sophie berhasil menjelaskan dengan tenang bahwa ia belajar akuntansi sendiri di rumah pada malam hari.

Sophie tidak pandai menerka pikiran orang, tapi ia tahu sang pewawancara merasa Sophie berbohong. Sophie pun merasa makin lemah. Ia tak mengerti apa yang diucapkan sang pewawancara. Sepuluh menit kemudian, Sophie sudah berada di jalanan dan tidak ingat bagaimana wawancara itu berakhir. Badannya gemetar. Ditahannya air mata jangan sampai jatuh. Ia mengutuk dirinya sendiri mengapa bisa demikian bodoh dan menyedihkan.

Sophie naik ke dalam bus yang sesak, terhimpit di antara wangi parfum penumpang lain yang mengerubunginya. Ketika bus mengerem mendadak, Sophie kehilangan keseimbangan dan menabrak penumpang lain. Ia meminta maaf dan buru-buru turun dari bus. Saking terburu-burunya, Sophie merasa tidak seimbang dan jatuh ke trotoar. “Aku harus bangun, semua orang melihatku,” katanya dalam hati. Tetapi tubuh Sophie menolak bekerja sama. Ia tidak mampu lagi melihat dengan sempurna dan tidak sadar bahwa air matanya sudah menghalangi pandangan. Akhirnya seseorang menelepon ambulans. Sophie terbangun di fasilitas psikiatri. Ia akan didiagnosis mempunyai gangguan psikologis dan diberi obat-obatan yang takkan menyelesaikan satu pun masalahnya.

Cara berpikir yang unik, ingin kesendirian, hasrat yang menggelora

Kehidupan Sophie di atas banyak dialami perempuan autis namun tidak terdiagnosis karena mereka berada di spektrum dengan gejala-gejala yang tidak terlalu kentara. Sophie mungkin punya kemampuan kognitif yang mengesankan, tetapi ia sendiri tidak sadar bakatnya. Ia terjebak dalam lingkungan sosial yang menyoroti jalan pikirannya yang tak biasa, atau keinginannya menyendiri, atau hasratnya terhadap suatu hal yang menggelora. Sophie sejak lama sadar bahwa semua hal itu dipandang sebagai sebuah kekurangan.

Andai saja Sophie didiagnosis dengan benar: high-functioning autism, ia akan mengerti cara pikirannya bekerja. Ia bisa bertemu orang dewasa autis yang lain serta belajar dari pengalaman mereka untuk menolongnya mengatasi kesulitan.

Autisme ditandai dengan kesulitan sosial dan komunikasi, ketertarikan spesifik terhadap sebuah hal (dalam kasus Sophie, pemodelan meteorologi), dan perilaku tertentu. Ada pula perbedaan persepsi, seperti kepekaan tingkat tinggi terhadap suara atau bau, atau justru kepekaan rendah terhadap rasa sakit. Autisme diperkirakan berdampak pada satu dari 100 orang.

Tujuh puluh persen orang dengan autisme memiliki kecerdasan yang normal atau superior. Bentuk autisme ini kerap disebut autisme tingkat tinggi, sebagaimana tercantum dalam versi terbaru “kitab suci” gangguan psikiatris DSM 5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders). Dalam versi terbaru ini, semua rujukan ke kategori lama sudah dihapus, termasuk sindrom Asperger. Istilah Asperger masih digunakan di beberapa negara, meski semua tipe autisme sekarang dikelompokkan ke dalam satu spektrum, dan diklasifikasikan menurut keparahan gejalanya.

Dukungan yang tepat melalui sekolah

Idealnya, Sophie sudah terdiagnosis sejak kecil sehingga menerima manfaat dukungan semasa sekolah, seperti yang diwajibkan dalam hukum Prancis dan negara lain. Dukungan ini akan membuat Sophie berkurang kerentanannya, serta mampu terlindungi dari perisakan di halaman sekolah. Sophie pun bisa belajar dengan metode yang disesuaikan dengan cara pikirnya. Ketika lulus sekolah, Sophie akan punya akses ke hak-hak pekerja, seperti status pekerja cacat, yang menolongnya mendapatkan pekerjaan yang sudah diadaptasi. Hidupnya akan jauh lebih sederhana dan damai.

Tetapi masalah Sophie berlipat ganda. Selain autis, dia juga perempuan. Mendapatkan diagnosis autisme tepat bagi perempuan jauh lebih sulit ketimbang laki-laki.

Hasil tes yang mirip pada anak laki-laki dan anak perempuan

Untuk mendiagnosis gangguan spektrum autisme (ASD), dokter dan psikolog mengevaluasi kriteria kuantitatif menggunakan tes dan kuesioner. Selain itu, mereka juga menggunakan kriteria kualitatif seperti minat, gerakan tertentu, kesulitan pada kontak mata, bahasa, dan keterasingan. Hasil pada anak perempuan mirip dengan anak laki-laki, tetapi manifestasi kondisi mereka secara klinis berbeda, paling tidak ketika si anak sudah punya kemampuan berbahasa.

Dengan strategi meniru secara sosial, contohnya, anak perempuan yang autis tidak terlalu kesusahan untuk berteman ketimbang anak laki-laki yang autis; mereka pun punya minat yang “lebih biasa” (misalnya kuda, dibandingkan peta kereta bawah tanah). Mereka lebih rentan terhadap gangguan kecemasan yang tidak terlalu terlihat. Mereka juga lebih piawai menyembunyikan kebiasaan tertentu. Dengan kata lain, autisme mereka kurang terlihat, sehingga gejalanya pun kurang kentara di mata keluarga, guru dan dokter.

Perbedaan ini dapat dijelaskan dari segi biologi dan lingkungan. Secara alami, ada hipotesis bahwa anak perempuan punya kemampuan sosial yang lebih baik dan lebih cakap dalam pengasuhan, sehingga lebih tertarik pada benda hidup (kucing, selebritas, bunga) daripada benda mati (mobil, robot, dan kereta api).

Dari sisi lingkungan, anak perempuan dan laki-laki dibesarkan berbeda. Kebiasaan yang dianggap normal secara sosial juga beda. Meski anak autis cenderung menolak fenomena ini, tekanan yang ada cukup kuat untuk pada akhirnya memengaruhi kebiasaan mereka, seperti yang terjadi pada Gunilla Gerland. Saat masih kecil, perempuan Swedia ini tidak menyukai cincin atau gelang logam karena tidak suka rasanya saat terkena kulit. Tapi ia belajar untuk tetap menerima hadiah perhiasan, bahkan mengucapkan terima kasih kepada pemberi hadiah, sebelum kemudian menumpuk perhiasan itu ke dalam kotak secepat mungkin.

Terlatih dalam seni kamuflase

Ketika anak perempuan yang autis beranjak dewasa, jurang antara kondisi mereka dan kondisi anak laki-laki autis makin lebar. Sebagai orang dewasa, beberapa perempuan autis bisa amat terlatih dalam seni kamuflase, yang menjelaskan pemakaian istilah “cacat tak terlihat” untuk menjelaskan tipe-tipe tertentu dari high functioning autism.

           

Semakin hari semakin banyak perempuan yang belakangan menyadari kondisi mereka dan berbagi pengalaman. Sejak September 2016, Francophone Association of Autistic Women (Association francophone des femmes autistes, atau AFFA) telah berjuang agar tanda-tanda autisme pada perempuan lebih mudah dikenali. Di Prancis, masyarakat mendorong adanya dialog antara peneliti dan perempuan autis.

Kuesioner spesifik bagi anak perempuan

Sejarahnya, para tokoh utama dalam riset autisme percaya bahwa ada tanda-tanda signifikan pada perempuan. Hans Asperger (yang namanya dijadikan nama sindrom) mengusulkan ide ini sejak 1944. Psikiater Inggris Lorna Wing mengusulkannya pada 1981. Tetapi baru beberapa tahun belakanganlah komunitas ilmiah benar-benar memeriksa bukti-buktinya.

Beberapa peneliti berusaha untuk memahami lebih baik lagi karakteristik spesifik autisme pada perempuan. Mulai awal tahun ini, sukarelawan diminta berpartisipasi dalam studi “autisme pada perempuan” oleh Laurent Mottron, profesor psikiatri di Universitas Montreal (Kanada), dan Pauline Duret, kandidat doktor bidang neurosains, dengan kolaborasi bersama saya dan Adeline Lacroix, yang bekerja di École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS) di Paris. Adeline Lacroix adalah mahasiswa magister psikologi yang didiagnosis menyandang autisme.

Penelitian lain juga berusaha mengadaptasi alat-alat diagnosis bagi subjek perempuan. Sebuah tim yang terdiri dari ilmuwan Australia Sarah Ormond, Charlotte Brownlow, Michelle Garnett, dan Tony Attwood, dan ilmuwan Polandia Agnieszka Rynkiewicz, saat ini tengah menyempurnakan kuesioner spesifik bagi anak perempuan, Q-ASC (“Questionnaire for autism spectrum conditions”). Hasil kerja mereka dipaparkan pada Mei 2017 di sebuah konferensi di San Francisco.

Walaupun ada secercah harapan akan hasil yang menarik, riset saat ini tentang karakter spesifik autisme pada perempuan justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Tetapi kebingungan itu bisa dianggap sebagai langkah yang diperlukan untuk mendapatkan pengetahuan, sepanjang perempuan yang menyandang autisme dapat berkontribusi kepada riset dan berbagi pandangan mereka mengenai ke mana arah riset harus dibawa.

Warga biasa juga bisa mengusahakan agar perempuan autis mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki. Dengan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perbedaan bentuk autisme, setiap orang dapat berkontribusi bagi dunia di mana anak-anak dan orang dewasa autis menemukan tempat mereka, serta melawan pengucilan dengan menciptakan masyarakat inklusif.

Fabienne Cazalis, Neuroscientifique, CNRS, École des Hautes Études en sciences sociales (EHESS)

This article was originally published on The Conversation. Read the original article.

(vem/kee)
What's On Fimela