Fimela.com, Jakarta Di era global saat ini, pernikahan lintas budaya atau intercultural marriage bukan lagi hal yang asing. Kamu mungkin sering melihat pasangan dari dua negara berbeda membangun rumah tangga bersama, baik lewat media sosial, film, maupun di lingkungan sekitarmu. Jenis pernikahan ini terjadi ketika dua individu dengan latar belakang budaya, etnis, atau kebangsaan berbeda memutuskan untuk hidup bersama.
Faktor seperti meningkatnya mobilitas global, pendidikan di luar negeri, hingga kemajuan teknologi digital yang mempertemukan banyak orang dari berbagai belahan dunia membuat fenomena ini semakin umum terjadi—termasuk di Indonesia.
Tren Pernikahan Lintas Budaya di Indonesia
Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta mencatat bahwa sejak tahun 2020 hingga Agustus 2025, terdapat 1.952 pelaporan perkawinan campuran antara istri warga negara Indonesia (WNI) dan suami warga negara asing (WNA). Angka ini menunjukkan bahwa keterbukaan masyarakat terhadap pernikahan lintas budaya semakin meningkat.
Namun, di balik kisah cinta yang sering kali terlihat romantis, ada tantangan yang tidak sedikit. Pasangan lintas budaya tidak hanya menyatukan dua individu, tetapi juga dua sistem nilai, kebiasaan, bahkan pandangan hidup yang bisa sangat berbeda.
Ketika Cinta Harus Berdamai dengan Perbedaan
Perbedaan budaya bisa menjadi sumber kekayaan dalam hubungan, tapi juga dapat memicu konflik. Cara berkomunikasi, gaya hidup, pandangan terhadap peran gender, hingga cara menunjukkan kasih sayang bisa berbeda jauh. Misalnya, seseorang yang tumbuh dalam budaya ekspresif mungkin merasa pasangan dari budaya yang lebih tertutup tampak dingin, padahal sebenarnya tidak demikian.
Menurut survei yang dilakukan oleh Divorce Source, tingkat perceraian pada pasangan antarnegara ternyata lebih tinggi dibanding pasangan dari ras atau budaya yang sama. Salah satu penyebabnya adalah benturan kebiasaan dan nilai budaya yang sering kali sulit dijembatani jika tidak ada komunikasi terbuka dan empati.
Ketika konflik ini tidak dikelola dengan baik, ia bisa menimbulkan ketidakpuasan dalam pernikahan, bahkan berujung pada perceraian. Padahal, di balik setiap konflik, ada peluang untuk belajar memahami perbedaan dan membangun keseimbangan baru yang khas bagi pasangan tersebut.
Dampak pada Pola Asuh dan Identitas Anak
Bagi pasangan lintas budaya yang memiliki anak, tantangan menjadi semakin kompleks. Tidak hanya soal menyatukan nilai-nilai dalam rumah tangga, tetapi juga bagaimana menumbuhkan identitas anak di tengah dua (atau lebih) kebudayaan yang berbeda.
Menurut profesor sosiologi Jenifer L. Bratter dari Rice University, selama isu mengenai ras dan stereotip budaya masih ada di masyarakat, tekanan sosial dan psikologis akan terus dirasakan oleh keluarga lintas budaya. Anak-anak dari latar belakang ini sering kali menghadapi pertanyaan seperti, “Kamu lebih Indonesia atau bule?” — pertanyaan sederhana tapi sarat makna, yang bisa memicu kebingungan identitas jika tidak ditangani dengan bijak.
Anak dari pernikahan lintas budaya biasanya tumbuh dengan perspektif yang lebih luas, namun mereka juga bisa mengalami fase cultural confusion ketika nilai-nilai yang diajarkan kedua orang tuanya saling bertentangan.
Membangun 'Third Culture': Jalan Tengah yang Menumbuhkan Anak Bahagia
Kuncinya ada pada bagaimana keluarga mengelola perbedaan tersebut. Para ahli menyebutkan ada beberapa gaya akulturasi, seperti kompromi (compromise), konsensus (consensus), dominasi salah satu budaya (submersion), atau bahkan penghapusan salah satu budaya (obliteration).
Pendekatan compromise atau consensus — di mana kedua budaya dihargai dan diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari — terbukti lebih sehat bagi kesejahteraan psikologis anak. Misalnya, orang tua bisa merayakan dua hari raya budaya, menggunakan dua bahasa di rumah, atau mengajarkan nilai-nilai positif dari masing-masing budaya. Dari sinilah muncul istilah third culture, budaya baru hasil perpaduan yang khas dan unik bagi keluarga tersebut.
Dengan pola asuh yang inklusif dan terbuka, anak-anak dari pernikahan lintas budaya justru bisa tumbuh menjadi pribadi yang adaptif, empatik, dan kaya perspektif. Mereka belajar sejak dini bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang bisa memperkaya cara mereka melihat dunia.
Pernikahan lintas budaya memang memiliki tantangan tersendiri, tapi juga menawarkan peluang luar biasa untuk pertumbuhan pribadi dan keluarga. Jika kamu atau orang terdekatmu sedang menjalaninya, ingatlah bahwa kunci harmoninya bukan pada seberapa sama kalian, tetapi pada seberapa besar kalian mau saling memahami dan menghargai perbedaan.
Karena pada akhirnya, cinta yang mampu melampaui batas budaya adalah cinta yang tumbuh dari keterbukaan hati dan kemauan untuk terus belajar—tentang diri sendiri, pasangan, dan dunia yang begitu beragam.