Sukses

Entertainment

Eksklusif Angga Dwimas Sasongko, Filosofi Kopi dan Tren Sineas

Fimela.com, Jakarta Angga Dwimas Sasongko adalah dalang dari kesuksesan film Filosofi Kopi (2015). Diadaptasi dari novel laris karya Dewi Lestari, film ini berhasil menorehkan prestasi di berbagai ajang bergengsi perfilman. Tak hanya di dalam negeri, tapi juga luar negeri lewat ajang World Premieres Film Festival 2015 yang diadakan di Filipina beberapa waktu lalu.

***

Mengawali bidang penyutradaraan sejak usia 21 tahun, Angga telah mengantongi banyak prestasi dari film garapannya. Sebut saja film Hari untuk Amanda (2009) yang berhasil masuk delapan nominasi Piala Citra. Film yang bercerita tentang dilema masa lalu jelang pernikahan tersebut juga berhasil mengantarkan Angga sebagai nominasi Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia untuk pertama kalinya.

Eksklusif Angga Dwimas Sasongko. (Fotografer: Deki Prayoga, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Kecintaan Angga terhadap film sudah muncul sejak masih duduk di sekolah dasar. Sang ayah yang merupakan seorang pengusaha itu gemar mengajaknya ke bioskop untuk sekedar menonton film-film terbaru. Keterlibatannya di film Jelangkung 3 (2007) sebagai sutradara pun akhirnya membuka mata pria kelahiran Jakarta, 11 Januari 1985 itu untuk mendirikan rumah produksi Visinema Pictures.

Dari situ, Angga dapat leluasa menuangkan semua idenya sebagai sineas. Cahaya dari Timur: Beta Maluku menjadi film pertama dari rumah produksi yang bermarkas di bilangan Jakarta Selatan tersebut. Tak main-main, film yang disutradarai oleh Angga sendiri ini sukses menjadi Film Bioskop Terbaik versi Festival Film Indonesia 2014 dan mengantarkan pemain utamanya, Chicco Jerikho, sebagai Aktor Terbaik.

Bekerja dengan hati dan kesenangan. Setidaknya, hal itu lah yang selalu dipegang Angga. Ia tak mau menjadi sineas yang hanya menuruti selera pasar saja, tapi juga harus menciptakan tren sendiri lewat ide-ide baru yang mampu berelevansi dengan banyak orang. 

Eksklusif Angga Dwimas Sasongko. (Fotografer: Deki Prayoga, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Selain sebagai sutradara, Angga juga berprofesi sebagai product designer dari perusahaan furniture dan interior yang digawanginya. Tak sampai di situ, Angga pun dikenal sebagai aktivis kemanusiaan dengan menginisiasiasi terbentuknya gerakan sosial Save Mentawai dan proyek Pondok Cerdas Indonesia atau PONDASI, sebuah community learing center berbasis perpustakaan di Mentawai.

Bagaimana cara Angga Dwimas Sasongko membagi kecintaannya terhadap film, bisnis dan aktivis? Lalu seperti apa ia melihat tren sineas dan perfilman di Indonesia saat ini? Bagaimana pengalaman Angga ikut serta dalam festival film internasional lewat film Filosofil Kopi? Simak hasil perbincangan dan wawancara Angga Dwimas Sasongko dengan Regina Novanda dan fotografer Deki Prayoga di kantor Visinema Pictures, Jakarta Selatan, pada Kamis, 9 Juni 2016 lalu.

 

Tak Menuruti Selera Pasar

Ketertarikan Angga Dwimas Sasongko terhadap bidang penyutradaraan telah membuatnya menghasilkan film-film berkualitias. Diakui pria berusia 31 tahun ini, dirinya tak pernah mengikuti selera pasar sedikit pun. Karena menurutnya, sineas lah yang seharusnya menciptakan sendiri tren untuk memuaskan penonton. 

Sejak kapan jatuh cinta pada film?

Sejak kecil, saya sudah diajak bapak nonton film di bioskop itu dari SD (Sekolah Dasar). Jadi sudah tergila-gila dengan film sejak kecil. Ibu dan bapak saya adalah wiraswasta. Tapi bapak saya waktu kuliah sempat menjadi sutradara teater independen.

Kenapa tertarik untuk menekuni bidang penyutradaraan?

Karena saya suka men-create sesuatu. Ini bidang film, dari sutradara saya jadi produser, lalu punya perusahaan film sendiri. Dari yang hanya kertas-kertas kemudian bisa dinikmati penonton. Proses itu menurut saya sebuah pengalaman dan perjalanan yang nggak ada gantinya.

Apa yang menarik bekerja sebagai sutradara?

Banyak. Karena ketika menjadi sutradara, setiap project adalah pengalaman baru. Setiap project ketemu cerita dan orang baru. Nggak pernah mengulang hal yang sama. Jadi setiap hari itu berasanya baru. Pekerjaan itu jadinya menuntut kita jadi orang yang terus belajar, terus merasa bodoh. Jadi yang dihasilin adalah, kita men-create experience buat diri kita sendiri. Itu membuat saya secara pengalaman kaya dibanding profesi lain.

Eksklusif Angga Dwimas Sasongko. (Fotografer: Deki Prayoga, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Saat menjadi sutradara, haruskah untuk selalu menuruti selera pasar?

Nggak, sih. Karena menurut kami, tren itu dibuat oleh film itu sendiri. Jadi yang bikin tren itu sebenarnya adalah filmmaker. Penonton sekarang suka komedi, berarti dulu ada yang bikin komedi. Titik awal selalu dari filmmaker, bukan dari penonton. Penonton hanya menikmati. Kemudian ketika mereka menikmati, mereka senang, itu jadi tren. Yang penting filmmaker nggak boleh bekerja hanya berdasarkan tren, tapi bagaimana dia berpikir untuk menciptakan tren baru sehingga tren ini siklusnya bisa hidup, karena kalau nggak gitu akan ada titik jenuh.

Apa yang ada di pikiran ketika pertama kali ingin buat film?

Pertama, filmnya harus menjawab kegelisahan saya sebagai seorang Angga Dwimas Sasongko atau sebagai sutradara, suami, warga negara. Kedua, filmnya harus relevan dan penting untuk banyak orang. Kalau filmnya hanya untuk tertawa dan bikin nangis banyak orang doang, nggak ada relevansinya, itu bukan film yang mau saya buat. Ketiga, saya mencintai apa yang dibicarakan dalam film tersebut. Jadi, tiga hal itu paling penting. Saya bukan filmmaker yang buat film yang nggak saya suka.

Saat buat film, apa punya ekspektesi?

Pasti ada ekspektasi. Lebih banyak ekspektasi ke penjualan ya, nggak terlalu berkespektasi untuk film tersebut menang Piala Citra. Targetnya lebih ke jumlah penonton. Suka nggak suka, ya memang kita sedang menjalani bisnis film.

Eksklusif Angga Dwimas Sasongko. (Fotografer: Deki Prayoga, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Seberapa penting penghargaan untuk Angga Dwimas Sasongko?

Penghargaan adalah bonus. Yang paling penting adalah menjawab kepercayaan dari partner bisnis atau investor yang sudah memberikan dana. Menjawab kepercayaan penonton yang masuk bioskop itu bayar. Ketika dua kepercayaan itu bisa kita pegang, saya rasa penghargaan itu hanya bonus dan motivasi untuk lebih baik.

Bisa diceritakan awal mula mendirikan Visinema Pictures?

Awal mula tercetus setelah syuting Jelangkung 3, saya merasa untuk bisa lebih bebas berkarya. Lebih bisa menentukan apa yang mau saya buat dan apa yang nggak mau saya buat. Kapan saya mau buat, dengan siapa saya mau buat, ya itu harus punya perusahaan sendiri. Karena dengan punya perusahaan sendiri, saya bisa mengatur apa yang perlu dan nggak perlu saya kerjakan.

Selain jadi sutradara, Angga Dwimas Sasongko dikenal juga sebagai aktivis dan pengusaha. Lebih nyaman mana?

Saya nggak pernah merasa yang satu lebih nyaman dari yang lain, karena itu adalah paketnya Angga Dwimas Sasongko. Aktivis, sutradara dan pengusaha, saya kerjain semua itu tanpa harus milah-milah. Semua keputusan saya ambil dan jalani dengan pendekatan tiga tadi. Semua saya operate dalam satu tempat, saya kerjakan bareng-bareng.

 

Filosofi Kopi & Perfilman Indonesia

Angga Dwimas Sasongko berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia lewat film Filosofi Kopi garapannya. Dari keterlibatannya di ajang internasional Angga banyak belajar dari perfilman negara lain. Ia pun bercerita tentang kondisi perfilman Indonesia dari kacamatanya sebagai seorang sineas. 

Apa motivasi mengikutsertakan film yang dibuat ke festival internasional?

Beberapa festival ada yang mengundang sebenarnya. Festival internasional itu sebagai satu cara mengukur bagaimana konten kita bisa diterima masyarakat lebih luas, sekaligus melihat bagaimana dunia luar berkembang dari sisi perfilman. Sehingga saya bisa membandingkan dengan di Indonesia, dengan apa yang saya buat. Sejauh mana yang saya buat ini bisa relevan untuk banyak orang, nggak hanya market dalam negeri.

Apa aja yang didapat dari mengikutsertakan film ke festival internasional?

Banyak dapat teman. Lalu, kita juga dapat beberapa distributor untuk film Filosofi Kopi di luar negeri seperti Jepang, Taiwan, India.

Bica ceritakan, perkembangan dari project film Filosofi Kopi 2?

Saat ini film Filosofi Kopi 2 sedang dalam tahap penulisan skenario. Sebentar lagi akan mengumumkan pemenang dari sayembara yang kita bikin. Pemain masih sama, Chicco Jerikho dan Rio Dewanto. Tapi pemain lain sudah beda. Akan ada perempuan baru yang cantik tapi bukan Julie Estelle.

Eksklusif Angga Dwimas Sasongko. (Fotografer: Deki Prayoga, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Gimana kondisi perfilman Indonesia sekarang?

Lagi seru, sih. Dengan adanya AADC 2 dan My Stupid Boss, berarti sudah ada lebih dari dua film Indonesia yang penontonnya di atas satu juta penonton tahun ini. Menurut saya, ini momentum bagus untuk perfilman Indonesia tahun ini, saatnya dirawat, jangan sampai tren-nya turun lagi. Kita harus sadar penonton butuh film yang bagus. Penonton juga butuh untuk di-educate untuk nonton film Indonesia yang legal, penonton juga harus dikasih tahu ada film yang bagus. Pelajaran dari film yang laris tahun ini adalah mereka punya effort yang besar dari segi marketing. Saya belajar banyak lah, film nggak cuma mikirin produksi tapi juga promosi.

Film yang bagus itu seperti apa?

Buat saya film yang bagus itu banyak kriterianya. Tapi yang simple, menurut saya film yang bagus itu punya cerita dan penulisan skenario yang baik, serta digarap dengan serius.

Aktor yang baik di mata Angga Dwimas Sasongko itu seperti apa?

Aktor yang baik adalah aktor yang mempunyai komitmen terhadap pekerjaannya. Aktor yang mau kerja keras untuk pekerjaannya. Karena kita tahu, industri film Indonesia tidak seperti Hollywood yang punya salary luar bisa, jadi yang terpenting dari seorang aktor mereka harus fokus saat mengerjakan satu project, nggak boleh terpecah.

Eksklusif Angga Dwimas Sasongko. (Fotografer: Deki Prayoga, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Bagaimana kondisi aktor di Indonesia?

Krisis sih nggak, tapi nggak banyak juga. Kita nggak punya banyak pilihan. Menurut saya, lumayan banyak lah aktor yang punya standar tinggi dan etos kerja yang baik.

Harapan karier ke depan?

Saya lebih ingin bisa menikmati apa yang didapat hari ini. Saya dikasih banyak rezeki. Saya bekerja dengan anak-anak muda yang punya banyak potensi, tugas saya lebih untuk meningkatkan potensi yang ada di Visinema Pictures. Rata-rata yang bekerja di sini usianya masih di bawah 30 tahun, saya ingin melihat mereka berkembang. Jadi ketika Visinema adalah sekolah, ketika mereka tidak di sini lagi, kemudian hari saya melihat mereka menjadi lebih besar lagi dari yang saya bayangin. Karier saya sebagai sutradara bukan sekedar tentang Angga, tapi juga yang kerja sama saya.

Kalau saya bilang saya mau buat film ke luar negeri, buat apa? Pasar kita besar dan punya potensi banyak. Saya nggak merasa dengan go international itu bisa menjawab kekurangan kita hari ini. Menurut saya, kita harus menaklukkan pasar kita dulu, baru berpikir ke internasional. Saya bangga dengan beberapa film terakhir yang saya buat dengan kesenangan dan hati. Inginnya sekarang konsisten dan bisa meningkat, tapi saya lebih pengen melihat potensi internal untuk maksimal dikeluarin.

 

Apa yang telah diraih Filosofi Kopi tak lantas membuat Angga Dwimas Sasongko berpuas diri. Ia terus menggali ide-ide kreatif lewat rumah produksi yang dinaunginya, Visinema Pictures. Sederet project film telah dipersiapkan Angga untuk kembali memanjakan penonton film bioskop di Tanah Air. Sukses selalu, Angga Dwimas Sasongko. 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading