Sukses

Entertainment

Eksklusif Ananda Sukarlan, Suarakan Politik Lewat Musik Klasik

Fimela.com, Jakarta Diam-diam emas. Wajah Ananda Sukarlan mungkin tak rajin menghiasi headline majalah-majalah musik mainstream. Namun dedikasinya terhadap perkembangan musik, terutama anak-anak di Indonesia patut mendapat apresiasi.

Lahir di Jakarta, 10 Juni 1968, Ananda Sukarlan merupakan pianis, komposer sekaligus aktivis pendidikan. Ia menggagas project bernama CHARM (Children in Harmony) untuk mendekatkan anak Indonesia dengan musik. Program ini pun didukung sepenuhnya oleh Mendikbud, Muhadjir Effendy untuk memperluas cakupannya di berbagai penjuru nusantara.

***

Saat ini Ananda Sukarlan menetap di Spanyol. Karier musiknya melambung pesat di kancah internasional. Bicara prestasi, lulusan University of Hartford ini telah diganjar sederet penghargaan bergengsi di skala global.

Eksklusif Ananda Sukarlan (Lokasi: Fagetti House, Stylist: Indah Wulansari, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri, Fotografer: Bambang E Ros/Bintang.com)

Beberapa awards yang diterima Ananda antara lain juara pertama sebagai The Best Interpreter of Spanish Music yang digelar 1995 silam di Spanyol. Ia juga menjadi satu-satunya musisi Indonesia yang namanya tercatat dalam The International Who's Who in Music book.

Meski tinggal di daratan Eropa, Ananda Sukarlan tak lantas kehilangan cintanya kepada tanah air. Selain mengenalkan musik klasik kepada khalayak yang lebih luas, ia juga memiliki concern terhadap isu-isu sosial dan politik yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia.

Beberapa waktu belakangan Ananda Sukarlan tercatat membuat dua komposisi yang punya latar belakang cerita menarik. Di satu sisi, ia menggambarkan indahnya harmoni antar umat beragama, dan di sisi lain ia menginterpretasi tangisan seorang figur yang selama ini dikenal tegas dan gagah.

Eksklusif Ananda Sukarlan (Lokasi: Fagetti House, Stylist: Indah Wulansari, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri, Fotografer: Bambang E Ros/Bintang.com)

Komposisi pertama berjudul Desember 2016 di mana ia menggabungkan lantunan Adzan dengan lagu Natal. Lalu ada juga Ibu Pertiwi, komposisi yang terinspirasi dari twitnya soal kasus penistaan agama melibatkan Gubernur DKI non-aktif, Ahok. Sebuah interpretasi dari lagu Ibu Pertiwi yang selama ini kita kenal.

"Iya itu terinspirasi oleh tangisan ahok. Spesfiiknya lagi, terinspirasi karena tweet saya sendiri. Begitu dia nangis saya ngetweet, tangisan ahok adalah tangisan ibu pertiwi. Terus saya pikir kan ada lagunya ibu pertiwi. Mulai berpikir, main piano, berkembang-berkembang jadi lagu Ibu Pertiwi itu," ujar Ananda Sukarlan saat ditemui Bintang.com di Fagetti House beberapa waktu lalu.

Musik klasik menjadi wadah yang nyaris tak terbatas bagi Ananda Sukarlan untuk eksplorasi. Dalam kesempatan wawancara eksklusif bersama Bintang.com, Ananda Sukarlan menceritakan latar belakang misi sosialnya memasyarakatkan musik klasik ke anak-anak di bangku sekolah, komentar soal Ahok hingga kejeniusan Joey Alexander. Simak hasil wawancara kami selengkapnya beirkut ini.

Tangisan Ahok jadi Inspirasi Musik Klasik

Bisa dibilang, musik klasik dan dunia politik seperti dua hal yang saling berseberangan. Musik klasik identik dengan ketenangan, harmoni dan esensi keindahan di telinga maupun hati. Sementara politik kerap dijuluki sebagai dunia kejam dan penuh persaingan.

Sebagai musisi, Ananda Sukarlan melihat korelasi keduanya bisa tertuang dalam sebuah karya. Musik menjadi media berekspresi untuk menyatukan dua hal berbeda.

Biasanya musisi klasik menarik diri dari politik. Tapi Anda menulis lagu tentang kondisi Jakarta, merasa gerah dengan keadaan?

Gerah banget. Karena saya lihat ini negara bakal jadi kayak Syria, diadu domba jadi perang saudara. Kalau rakyat dibodohi akan terus begini

Itu lagu Desember 2016 dan Ibu pertiwi?

Iya dua-duanya. Musik saya memang mencerminkan keadaan. Kadang musik saya juga tentang apa yang terjadi di Finlandia, kalau saya lagi di sana. Kebetulan Desember saya lagi di sini.

Menariknya, anda menulis lagu itu saat menonton sidang Ahok?

Iya itu terinspirasi oleh tangisan ahok. Spesfiiknya lagi, terinspirasi karena tweet saya sendiri. Begitu dia nangis saya ngetweet, tangisan ahok adalah tangisan Ibu Pertiwi. Terus saya pikir kan ada lagunya ibu pertiwi. Mulai berpikir, main piano, berkembang-berkembang jadi lagu Ibu Pertiwi itu.

 

Eksklusif Ananda Sukarlan (Lokasi: Fagetti House, Stylist: Indah Wulansari, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri, Fotografer: Bambang E Ros/Bintang.com)

Apa yang ada di benak anda saat lihat Ahok menangis?

Yang ada di benak saya, saya melihat seorang yang baik hati, yang niatnya baik, difitnah secara keji. Ahok itu tipe yang tegar, kokoh, tapi saat itu dia nggak tahan lagi. Dia mencintai keluarga angkatnya yang muslim. Dia bukan orang yang penuh kebencian. Kemudian dia difitnah, dan dibilang dia anti Islam dan segala macam. Saat itu saya sedih, padahal nggak dekat sama Ahok. Niatnya tuh baik. Saya lihat banyak kejadian yang kayaknya negara kita mau dipecah belah. Ya saya mau berjuang karena ini negara saya. Selain dari musik, saya juga akan terus ngetweet yang pedas.

Saat menulis lagu selalu mengkritisi keadaan?

Saya nggak mengkritisi. Saya menulis lagi dari apa yang saya rasakan. Waktu itu saya merasakan itu waktu lihat sidang Ahok. Kalau terkesan mengkritisi ya silahkan saja.

Bukan berarti mau berpolitik kan?

Nggak, saya nggak ingin jadi politikus. Politik itu menurut saya bagian dari kehidupan dan pengaruhi kehidupan kita. Politikus itu kan yang bekuasa, jadi ikut menentukan kehidupan kita.

Relevansi musik dengan politik?

Dulu musiknya Beethoven zamannya Napoleon, selalu berkaitan erat dengan Beethoven. Dari musik itu kita bisa mengekspresikan hal yang sulit diekspresikan dengan kata-kata sih. Misalnya karya saya yang Desember 2016, saya gabungkan musik Adzan dan lagu Natal. Kalau nggak lewat musik bakal susah, tapi di musik bisa dan harmoninya bisa pas. Saya bikinnya bulan lalu. Kalau Desember di sini kan ramainya soal haram kasih ucapan selamat Natal. Jadi dari musik itu saya ingin tunjukkan, terlepas haram atau nggak bisa jadi musik yang bagus.

Musik bisa menyatukan segala perbedaan?

Benar banget. Kalau di orkes lihat saja ada orang Palestina dan Israel. Orkes itu turing kemana-mana selama beberapa minggu, dan aman-aman saja tuh. Jadi sebenarnya yang memecah belah para politikus itu. Sebenarnya tujuannya jelas mngambil sesuatu dari negara, dan kita nggak boleh jadi korban itu.

Eksklusif Ananda Sukarlan (Lokasi: Fagetti House, Stylist: Indah Wulansari, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri, Fotografer: Bambang E Ros/Bintang.com)

Harapan ke depan apa?

Saya mengharapkan bisa sedikit membantu mencerdaskan anak-anak Indonesia. Kalau generasi sekarang seperti ini, jangan sampai generasi selanjutnya akan hancur. Karena negara ini akan diwarisi anak-anak kita.

Masih menetap di Spanyol?

Masih tapi nanti awal Februari balik lagi.

Ada keinginan tinggal lagi di Indonesia?

Ada banget. Anak saya kebetulan sudah kuliah, sudah keluar dari rumah. Tahu lah anak kuliahan sudah jarang di rumah. Kalau bisa masa tua saya ingin di sini, karena lebih suka makanannya. Di sini juga ada tantangan. Di Eropa sudah established, main dapat duit pulang. Ya saya ingin share saja. Saya pernah bikin projek dengan anak-anak cacat, yang nggk punya tangan, dan saya banyak belajar dari mereka. Dan materialnya sudah ada direkam di spanyol dan bisa dipelajari buat anak-anak cacat di Indonesia.

Ide awalnya?

Saya ditawari sebuah yayasan, bisa nggak bikin musik buat anak-anak difabel, yang kekurangan. Waktu itu saya pikir tantangan, dan ternyata lebih banyak saya yang belajar dari mereka

Pelajaran apa yang didapat?

Bahwa main dengan satu tangan itu berbeda. Melodi dan iringan biasanya menggunakan dua tangan, ada di dalam satu tangan. Atau dua melodi dalam satu tangan. Dan ternyata kemungkinannya banyak banget.

Project terbaru?

Kita habis recording sama Mariska Setiawan. Nanti dilauching awal Maret. Ini CD ada muatan politik, agama, filosofi, jadi nggak cuma musik yang enak didengar doang.

Misi Sosial Buat Anak-Anak Melek Musik

Sejauh ini project CHARM bagaimana?

Jadi kita karena sudah banyak melakukan di SD SD, sekarang Mendikbud, Pak Muhajir, meminta kita mengurus projek dia yaitu, melatih anak-anak baca not dan main instrumen di 100 SD di Jakarta. Kalau ini oke, tahun depan kita lanjutkan di 500 SD di Indonesia.

100 SD itu sudah jalan?

Mulainya bulan Juli, jadi pas semester baru. Kita lagi bicarakan plannya. Jadi tujuannya bukan supaya mereka jadi musikus, tapi bisa mengaktifkan otak mereka, tentu sesitifitas juga. Mengasah toleransi mereka, terus main sama-sama, bikin orkes segala macam. Jadi mereka dilatih dulu selama 6 bulan, setelah itu mereka main sama-sama. Nanti mereka dipinjamkan instrumen untuk dibawa pulang. Paling biola, gitar, flute, cello

Seberapa besar peran musik terhadap anak-anak?

Besar banget, ini kan datangnya dari eropa. Dan saya belajar metode itu dari eropa. Itu juga bisa identifikasi anak, apakah baik pendengarannya atau penglihatannya. Jadi ada anak yang baca not cepat, terjemahkan ke instrumen cepat. Tapi ada juga anak yang dengar melodi terus bisa main isntrumennya. Dampaknya kalau dia belajar bahasa, dia tahu kekuatannya dimana, oral atau visual. 

Eksklusif Ananda Sukarlan (Lokasi: Fagetti House, Stylist: Indah Wulansari, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri, Fotografer: Bambang E Ros/Bintang.com)

Apa yang membuat anda tergerak membuat kegiatan seperti ini?

Mungkin karena saya anak nggak mampu. Saya juga dari keluarga yang pas-pasan saja. Saya senang musik, tapi dulu sulit orang tua buat leskan saya. Saya 7 bersaudara. Jadi orangtua leskan kakak saya buat ajari adik-adiknya. Waktu itu saya juga kesulitan ke luar negeri buat lanjutkan segala macam. Jadi saya sekarang lebih sensitif dan saya pikir musik itu penting banget. Saya lihat di eropa itu dipakai buat mengasah pikiran, kecerdasan. Apalagi ada orang yang bilang, anak masih dalam kandungan jadi pintar karena dikasih dengar musik klasik, itu nggak benar. Orang mau dengar musik apapun nggak bakal jadi cerdas. Tapi prosesnya itu menulis not, dan itu proses kompleks yang mencerdaskannya.

Masa kecil Ananda Sukarlan seperti apa?

Saya nggak pernah punya cita-cita jadi pianis. Saya senang main musik saja, dan banyak hal yang nggak bisa saya lakukan karena keterbatasan financial.

Suka piano sejak kapan?

Sejak anak-anak waktu umur 5 tahun, itu ada keluarga Belanda, teman keluarga kita, yang pulang ke Belanda. Jadi mereka gelar garace sale gitu, yang salah satu barangnya piano yang upride. Sudah rongsok sih. Pas kakak-kakak saya les, saya tidak karena masih kecil. Terus saya bikin berisik main piano. Akhirnya mamah saya bilang, ini yang kecil dileskan saja deh, daripada bikin berisik. Tapi ternyata, saya yang lebih berminat dan yang jadi musikus ya saya. Yang lain juga berminat, tapi ya sekarang malah jadi psikolog, dokter.

Anda tinggal di Spanyol, perbedaan perkembangan musik di sana dan Indonesia bagaimana?

Jauh banget. Makanya saya terapkan di Indonesia, kita harus mulai. Masyarakat maju itu antara lain karena pendidikan musik. Memang saya menekankan metode eropa, tapi sisanya sangat Indonesia, dimana kurikulumnya, melodinya, materialnya dari lagu daerah. Jadi mereka akan mengenal lagu daerah. Karena saya lihat anak SD, SMP sekarang tidak mengenal lagu daerah. Padahal Indonesia paling kaya lagu daerahnya. Kita paling banyak lagu daerah di dunia.

Eksklusif Ananda Sukarlan (Lokasi: Fagetti House, Stylist: Indah Wulansari, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri, Fotografer: Bambang E Ros/Bintang.com)

Potensi perkembangan musik klasik di Indonesia menurut anda?

Besar banget, karena saya lihat bakat-bakat yang besar. Perkembangannya juga besar, dilihat dari jumlah sekolah musik. Itu melebihi semua negara di eropa. Sekarang masalahnya tinggal kualitas. Kuantitas kita sudah punya, tinggal kualitas. Banyak sekolah musik yang standarnya nggak jelas, tapi peminatnya banyak banget. Terus tiap saya gelar acara ya, itu peminat sekolah musiknya meningkat 100 persen. Masalahnya sekarang kurang tenaga pengajar.

Tapi musik klasik di sini kan masih dianggap segmented?
Di sini iya, dan memang di eropa juga. Dan itu yang ingin saya bilang, musik klasik milik semua orang. Sebenarnya mendengarnya tidak butuh kecerdasa terlalu banyak, memainkannya iya. Karena memainkannya lebih susah dari musik lain.

Kita tahu Indonesia juga punya pianis potensial, Alexander Joey. Menurut anda gmn?
Dia dari bidang jazz. Dia sangat berbakat. Dia tinggal di Amerika, mungkin karirnya akan lebih bagus di Amerika. Karena karirnya jatuh di tanah yang subur dalam hal itu.

Kenapa lebih baik tinggal di Amerika?

Untuk sekarang iya, karena banyak pedebadan. Banyak musikus klasik Indonesia 90 persen tinggal di luar negeri.

Kenapa demikian?

Karena lahan kita belum subur. Sekarang kita ngobrol sama teman-teman yang tinggal di luar negeri, lahan kita ini bisa dibikin subur. Tapi konsumennya harus dididik.

 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading