Sukses

FimelaMom

Mengasuh Anak ala Marissa Nasution, Ajarkan Kedua Putrinya Tentang Emosi, Kejujuran, dan Identitas Budaya

Fimela.com, Jakarta Dikenal sebagai seorang presenter, bintang sinetron dan film, serta model iklan tanah air, Marissa Nasution dan pernah menjadi VJ Marissa, kini sudah jarang terlihat di dunia entertaiment Indonedia. Setelah menikah dengan seorang pria asal Jerman bernama Benedikt Brueggemann sejak tahun 2017 lalu, Marrisa fokus dengan urusan rumah tangga apalagi setelah dikaruniai dua putri cantik.

Marissa Nasution melahirkan dua anak perempuan berparas bule dengan mata yang indah. Kedua putrinya yang diberi nama Alaia dan Olivia lahir ini memiliki jarak usia yang tak terlalu jauh, yaitu 2 tahun. Setelah menikah dan memiliki anak, Marrisa memilih menetap di Singapura.

Selain menjadi seorang ibu, Marrisa juga pada tahun 2024 menyelesaikan pendidikan magisternya atau S2 di bidang psikologi. Sebelumnya, Marissa telah lebih dulu lulus dalam program Psikologi Industri dan Organisasi di Aventis School of Management, Singapura. Kini ia pun diketahui konselor sekolah dan membagikan banyak konten termasuk mengenai parenting di media sosialnya. Termasuk saat podcast bersama @storyofralate. 

Anak Harus Belajar Emosi di Usia Dini

Marissa mengungkap bahwa kemampuan untuk manage perasaan bukanlah hal yang otomatis datang seiring bertambahnya usia—melainkan sebuah keterampilan yang perlu dipelajari sepanjang hidup.

Menurut Marissa, banyak orang mengira bahwa ketika kita sudah dewasa, kita otomatis menjadi pribadi yang matang secara emosional. Faktanya, tidak selalu begitu.

“Memahami dan manage perasaan itu adalah sebuah skill yang kita butuhkan seumur hidup,” ujarnya. Bukan berarti kalau kita seorang dewasa berarti kita emotionally mature,” ujarnya dalam podcast tersebut

Ia menekankan bahwa emosi bukan hanya sekadar marah, sedih, atau bahagia. Emosi manusia jauh lebih kompleks, membentuk sebuah emosional landscape yang luas. Ketika kita tidak memahami apa yang terjadi dalam diri sendiri, kita cenderung menekan perasaan tersebut.

“Kalau kita tidak mengerti apa yang sedang terjadi dalam diri kita, kita akan suppress—like a volcano.”

Banyak yang bertanya, di usia berapa seseorang bisa mulai belajar mengatur emosi. Marissa memberikan jawaban yang menenangkan:

“Menurut aku, it’s never too late.”

Ia menjelaskan bahwa otak manusia selalu berkembang dan pada dasarnya didesain untuk belajar hal-hal baru sepanjang hidup. Namun, kemampuan ini idealnya sudah mulai diperkenalkan sejak kecil.

“This complex situation bisa diajarkan dari masa kecil. Karena you will need this skill seumur hidup to keep the harmony dalam keluarga.”

Bagi Marissa, memahami emosi bukan hanya tentang bagaimana kita menenangkan diri ketika marah atau sedih. Ada aspek lain yang sama pentingnya: kemampuan mengenali dan mengatur emosi orang lain di sekitar kita.

“Kita sangat membutuhkan kemampuan untuk memahami dan regulasi emosi sendiri. Tapi kita juga akan belajar gimana caranya kita regulasi emosi orang lain.”

Menurut, kemampuan ini menjadi fondasi penting dalam menjaga hubungan—baik dalam keluarga, pertemanan, maupun lingkungan kerja.

Menghadapi Anak Berbohong

Dalam sebuah percakapan reflektif tentang pola asuh, Marissa Nasution memberikan pandangannya mengenai salah satu tantangan terbesar dalam parenting: menghadapi anak yang berbohong. Tanpa menggurui, Marissa memberikan perspektif yang lembut namun tegas tentang bagaimana seharusnya orang tua merespons situasi ini.

Saat mengetahui anak berbohong, insting pertama banyak orangtua adalah marah atau kecewa. Namun Marissa mengajak para orang tua untuk mengambil langkah berbeda.

“Mungkin insting kita pertama adalah marah. Menurut saya lebih mudah menghadapinya dengan cara yang tenang.”

Menurutnya, momen ketika anak berbohong justru bisa menjadi kesempatan untuk membuka percakapan yang jujur dan penuh kehangatan. Bukan hanya tentang apa yang mereka sembunyikan, melainkan alasan di balik itu.

“Yang penting adalah kenapa mereka bohong. Mari kita bicara tentang kenapa kamu bohong.”

Dengan memahami penyebabnya—apakah karena takut dimarahi, ingin diterima, tidak mau melanggar batasan, atau merasa belum siap bercerita—orang tua bisa membangun hubungan yang lebih kuat dan aman bagi anak.

Dalam percakapan tersebut, Marissa juga menyinggung pertanyaan yang sering muncul dalam benak para orang tua: apakah mereka perlu selalu menyelesaikan masalah anak?

“Pertanyaannya adalah, apakah kamu melakukannya untuk mereka? Atau kalau kita benar-benar jujur, apakah kamu melakukannya untuk dirimu sendiri?”

Ia mengingatkan bahwa banyak orangtua mengira tindakan mereka dilakukan demi kebaikan anak, padahal sering kali itu muncul dari kecemasan atau keinginan pribadi. Ketika orang tua selalu turun tangan dan memperbaiki semua masalah, anak kehilangan kesempatan untuk belajar menghadapi konsekuensi dan mengembangkan kemandirian.

Menurut Marissa, membiarkan anak belajar dari situasi—termasuk ketika mereka berbohong—adalah bagian penting dari proses pendewasaan.

“Karena juga sangat-sangat penting buat anak untuk belajar nanti kalau mereka dewasa sendiri.”

Anak perlu memahami bahwa kejujuran, keberanian mengakui kesalahan, dan kemampuan memperbaiki situasi adalah skill yang harus dibangun sejak kecil. Orang tua bisa mendampingi, tetapi tidak selalu harus mengambil alih.

Saran Marissa cukup jelas: alih-alih fokus pada kesalahan anak, fokuslah pada membangun koneksi. Dengan pendekatan penuh empati, anak akan lebih terbuka, merasa aman bercerita, dan belajar bertanggung jawab atas tindakannya.

Aktivitas Bersama Anak

Marissa bercerita tentang Allie yang merayakan Hari PBB di sekolah. Dengan penuh bangga, sang putri mengenakan kebaya Indonesia—simbol identitas yang melekat dan Marissa ingin tetap diwariskan.

Sementara itu, Olivia ikut menyemarakkan perayaan Diwali di sekolahnya, tampil anggun dalam balutan pakaian tradisional dari @nimbu.sg. Melihat kedua putrinya merangkul budaya dan komunitas dengan hati terbuka membuat Marissa semakin bersyukur.

“Saya senang melihat mereka merangkul budaya, komunitas, dan perayaan dengan penuh sukacita.”

Ia mendukung perkembangan kesadaran diri, ketahanan, hingga literasi emosional—keterampilan yang menurutnya penting untuk bekal masa depan.

Di rumah, dua putrinya mulai menulis jurnal. Rutinitas sederhana ini menghadirkan momen baru bagi Marissa—sebuah pengingat lembut tentang kekuatan refleksi.

Melihat anak-anak menuangkan pikiran dan perasaan mereka ke dalam tulisan menjadi pengingat baginya bahwa kesadaran diri tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten.

 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading