Jakarta
Asumsi awal, saat ingin menikah kita harus sudah siap dengan semuanya. Khususnya masalah pendanaan. Dana pernikahan, karena yang menikah dua orang dari dua keluarga, biasanya berasal dari patungan. Tapi, jaman sekarang, apalagi di era Instagram, ternyata banyak yang berani menikah bahkan saat belum memiliki cukup dana di tangan.
Beberapa waktu terakhir, banyak kabar tersiar soal pasangan yang menikah dengan megah, namun selesai pernikahan mereka dikejar hutang. Keinginan menikah yang wah tak dibarengi dengan modal yang seimbang. Pinjam sana-sini, termasuk yang sedang marak, KTA alias Kredit Tanpa Agunan. Drama usai pernikahan ini menarik diamati. Karena beda sudut pandang, ternyata faktor lain yang jadi penyebabnya. Tapi benang merahnya sama, tak bisa membedakan kebutuhan dan keinginan.
Dream Wedding
FIMELA berbicara kepada beberapa pihak untuk mencari tahu kasus-kasus yang pernah terjadi. Jayanti Sriwulandari dari Love Me Decor berbicara kepada FIMELA menceritakan jaman sekarang tuntutan untuk dekorasi yang cukup Instagram-friendly justru seperti bridal shower. Untuk resepsi cenderung glamor atau lebih adat. Yang biasanya memang mewah, tapi belum tentu Instagram-friendly. “Sempat punya klien yang ternyata tidak punya uang, tapi ingin dekor yang keren. Kabarnya, uang mereka sudah habis untuk katering. Mereka sudah mengajukan KTA dan pinjam sana-sini, termasuk di kantor. Menggadaikan kendaraan pribadi juga. Mirisnya setelah dibuat sesuai sketsa, mereka bilang tidak cocok dan tidak mau bayar,” cerita Jayanti. “Mereka berharap uang amplop bisa menutup biaya pernikahan. Bahkan, ada perusahaan dekor yang uang amplop-nya terpaksa ditunggu agar bisa dibayar,” tambahnya. Banyak yang lupa, resepsi pernikahan adalah sebuah ucapan berbagi kebahagiaan, mengundang kerabat dan kolega untuk berbagai kebahagiaan itu dengan kita. Berharap mendapat amplop yang bisa menutup biaya pernikahan saja rasanya tak pantas. Pamrih sekali.
Sebagai catatan, biaya pernikahan di hotel-hotel kelas atas macam hotel Mulia, Dharmawangsa, atau Fairmont bisa mencapai 2 Miliar Rupiah. Dan beberapa perusahaan dekor terkenal bisa mematok harga 750 juta sampai 1 miliar untuk urusan dekorasi saja. Mengapa begitu mahal? Karena di sebuah pernikahan besar, biaya dekorasi bisa mencapai 50% dari total biaya sendiri, cerita Iman Hidajat, editor in chief untuk Weddingku. Ditambah, perhitungan minimal katering di standar 50.000 rupiah per kepala, bayangkan jika sebuah resepsi dengan undangan lebih dari 1000 orang. Bisa mencapai titik 750 juta rupiah.
Ada lagi cerita, sepasang suami istri muda menikah di salah satu lokasi bergengsi di ibukota. Mengundang banyak orang, memakai baju desainer, ironisnya pasangan yang menikah bahkan belum bekerja. Pihak orang tua yang ingin menikahkan anaknya seperti itu. Karena merasa mereka punya garis keluarga yang bukan orang biasa, jadi menikahkan anak secara megah – walaupun mereka belum bekerja –sangat perlu. Atau, cerita kerabat FIMELA yang bekerja di salah satu agensi fotografi pernikahan terkenal di Jakarta tentang salah satu klien. Rela berhutang di Bank, agar anak bisa menikah di hotel top, memakai gaun pernikahan dari desainer Indonesia yang rancangannya terkenal di Hollywood (itu bisa berharga 50 juta rupiah sendiri), lalu setelah menikah langsung dapat rumah di kawasan bergengsi di Utara Jakarta. Bagaimana nasib pasangan itu sekarang? Bercerai setelah utang di Bank lunas.
Satu kasus lagi, salah satu pihak orang tua ingin anaknya menikah secara wah. Dapat besan berduit, jadi gengsi kalau tak bisa merayakan dengan total. Walhasil, berhutang sana-sini untuk menggelar pesta. Dan akhirnya, pinjam duit sana-sini juga untuk menutup hutang. Setelah pernikahan selesai, beberapa waktu kemudian, orang tua si pengantin yang bercerai karena masalah hutang ini jadi puncak kekesalan yang tak bisa dibendung lagi.
Kevin Mintaraga, CEO dan co-founder Bridestory, mengungkapkan bahwa 4 dari 10 pernikahan di Indonesia masih ditanggung orang tua mempelai. Cukup menandakan bahwa resepsi pernikahan masih menjadi saluran untuk tunjukkan status sosial keluarga.
Baca juga:
Trend wedding makeup 2018: Minimalis, foundation tidak tebal, dan tidak manglingi
Tuntutan Kultur
Pernikahan di Indonesia bisa sangat besar dalam perayaan sudah pasti karena kultur. Bila anak pertama yang menikah, orang tua tak jarang ingin merayakannya dengan besar. Begitu pula dengan anak tunggal. Nah, anak boleh satu, tapi kalau orang tuanya punya banyak saudara dan berasal dari keluarga besar, maka itu pun akan jadi pernikahan yang ekspansif. Saat akan mantu, maka orang tua akan woro-woro. Dan woro woro itu akan berujung perayaan. “Kalau memilih tak merayakan, mungkin akan dianggap tak pantas oleh adat dan tak sopan pada keluarga besar,” cerita Uti Farania di Ciputat, Tangerang, yang awalnya ingin membuat resepsi sederhana saja karena ia dan suami menikah beda keyakinan di Hong Kong. Jadi, tak perlu terlalu heran bila hampir jarang pesta pernikahan di Indonesia yang tak perlu nombok. Di sinilah generasi modern, terlebih yang berasal dari Indonesia harus mengingat, bahwa saat menikah, bukan hanya kedua pengantin yang menikah. Tapi juga seluruh keluarga. Dan walau pun kita berusaha sekuat tenaga memuaskan tamu, menjamu mereka, seusai semua pesta pernikahan itu mereka pulang dan kita berhadapan dengan real life sesudahnya.
Trend KTA
Mengajukan KTA untuk membantu biaya pernikahan sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Melihat kondisi sosial dimana masyarakat membutuhkan suntikan dana khusus ini, maka institusi keuangan pun menjawab kebutuhan itu dengan menyediakan produk-produk KTA yang secara spesifik untuk membantu pernikahan. Beberapa ada yang sanggup meminjamkan sangat fleksibel sampai 200 juta rupiah. Tapi ada juga yang masih di batas 30 juta rupiah, seperti Commonwealth yang baru mengeluarkan produk sejenis. Jumlah pinjaman yang beragam ini adalah hasil analisa kompetitif dari tiap bank untuk mendapatkan produk dengan pricing menarik. Begitu menariknya produk kredit, tak hanya bank utama, anak perusahaan bank pun bisa memberikan kredit dan tak masalah bila nantinya dana itu dipakai untuk membantu pesta pernikahan. “Jaman sekarang, mengajukan KTA untuk pesta pernikahan itu sudah sangat normal. Tentu, kalau langsung punya anak tak lama setelah menikah perjuangan melunasi semua hutang itu akan sangat terasa,” cerita Diba Nasution di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, yang juga mengajukan KTA untuk pernikahannya.
Produk KTA untuk pernikahan yang makin populer ini cukup bersinergi dengan hasil survei pasar 2016 yang dilakukan Bridestory, wedding marketplace terbesar di Asia Tenggara, dimana terungkap bahwa bisnis berbasis pernikahan di Indonesia terus meningkat tiap tahun dengan perputaran kapital lebih dari US 7 Miliar Dollar per tahun. Ditambah, bursa pameran pernikahan kini jadi agenda rutin sepanjang tahun, dari hotel sampai convention center. Refleksi makin tingginya minat pasar untuk mengadakan resepsi perkawinan prestisius.
Tuntutan Sosial
Berbicara pernikahan impian di era Instagram, akan sangat problematik. Media sosial bisa jadi sumber inspirasi, juga sumber obsesi. Semua gambar-gambar indah tentang pernikahan yang Instagram-genic membuat pengantin-pengantin modern merasa wajib membangun sudut-sudut keren di pesta pernikahan mereka untuk para tamu. Dan ini tak murah. Bila dikaitkan dengan gengsi, dan hasrat untuk dibicarakan, pusat perhatian – yang seringkali adalah inti media sosial sekarang ini – orang dengan mudahnya mengikuti trend kekinian. Dan soal gengsi ini, jaman sekarang, bukan hanya orang tua. Calon pengantin pun bisa jadi akar masalah.
“Pengantin itu ada 2 jenis,” cerita Iman Hidajat dari Weddingku lagi. “Me bride. Guest Bride,” lanjutnya. Me bride; pengantin yang benar-benar ingin jadi ratu sehari. Semua harus tentang dia. Guest Bride; pengantin yang ingin agar tamunya puas, makanan jangan sampai kurang, dan semua hal lain juga harus memuaskan. Insiden dimana calon pengantin yang punya banyak tuntutan, sehingga mau tak mau memaksa orang tua untuk berhutang, menerapkan standar tinggi (dekor harus seperti itu, katering harus seperti itu, baju dari sini, dan seterusnya) padahal dana tidak ada juga bisa berujung masalah. Atau kita ubah sedikit perspektifnya; memaksa orang tua mempersiapkan pernikahan dalam waktu yang sangat sempit, sementara dana belum mencukupi. Ini karena sang buah hati ingin buru-buru menikah, dan pernikahannya yang terburu-buru itu harus meriah, harus dibicarakan, dan tak terlupakan. Tempo menulis, faktanya mayoritas pengambil keputusan dalam persiapan pernikahan di Indonesia adalah mempelai perempuan (49,4%), disusul orang tua mempelai perempuan (15,5%). Melihat jumlah yang begitu besar, besar kemungkinan pula pengantin perempuan yang super menuntut macam itu banyak jumlahnya di luar sana.
Kata Konsultan Keuangan
“Pernikahan itu suatu moment penting dalam hidup, hingga harus direncanakan dengan baik, bersama orang yang tepat, pada saat yang tepat. Maka idealnya keputusan menikah itu tidak datang mendadak, karena perlu kesiapan fisik, mental, spiritual, dan finansial,” ulas Metta Anggriani dari Perencana Keuangan Independen Anggriani & Partners. “Menurut ilmu perencanaan keuangan, berhutang untuk membiayai pesta pernikahan tidak disarankan. Karena sebenarnya itu merupakan pengeluaran konsumtif,” sambung Metta lagi menyoal trend KTA untuk membantu biaya pernikahan.
“Pernikahan di Indonesia memang dianggap seperti budaya, tradisi. Ditambah lagi masyarakat Indonesia sifatnya sangat guyub atau kekeluargaan. Hal-hal seperti inilah yangg dibidik oleh produk keuangan (kredit khususnya) untuk memudahkan masyarakat menyelenggarakan pernikahan. Namanya bisnis sah-sah saja seperti itu, tinggal konsumen harus bijak memilih apakah kredit tersebut wajar dan sesuai dengan kemampuannya,” papar Metta lagi.
Metta menambahkan, sebaiknya memang tidak berhutang untuk menikah. Jadi sesuaikan pernikahan dengan dana yang ada. “Dana menikah bisa dipersiapkan jauh hari sebelumnya. Bahkan ketika masih jomblo-pun, siapkanlah dana menikah, jadi bila calonnya sudah ada, kemampuan finansial sdh tersedia. Jadi jomblo mapan itu lebih menarik.” Menabung dana menikah bisa dilakukan sedikit demi sedkit, misalnya dalam bentuk reksadana, atau tabungan terpisah dari dana operasional sehari-hari, jelas Metta lagi.
“Di era sosial media ini, orang sering terbawa mengikuti trend demi eksis di lingkungan yg kekinian. Orang seakan berlomba membuat pesta pernikahan yang instagrammable, sehingga biaya pesta menjadi berlebihan. Nah, tantangannya bagaimana membuat pesta pernikahan yang instagrammable dengan biaya terjangkau, tetapi tetap khidmat dan unik. Kalo kreatif bisa, kok,” bahas Metta kemudian.
“Menikah itu kebutuhan, tapi pesta pernikahan itu keinginan. Tidak apa bila keinginan didukung oleh kemampuan. Tapi kalau kemampuan terbatas, sebaiknya kembali lagi ke esensi menikah itu sendiri untuk apa. Apakah bijak memulai rumah tangga dengan hutang? Lebih penting biaya nikah itu dialokasikan untuk modal rumah tangga setelah menikah, misalnya untuk beli atau sewa rumah, persiapan kehamilan, dan lain-lain,” tutup Metta.
Baca juga:
Ingin menikah? tanyakan hal ini lebih dulu pada diri sendiri
******
Jadi, perlu diingat lagi. Dibalik senyuman sumringah yang dibagikan di Instagram, dengan semua makeup sempurna, dekorasi paten, gaun bak Cinderella, mungkin ada sederet vendor-vendor yang sudah siap dengan tagihan. The aim of a wedding should be a happy marriage, bukan stress karena hutang resepsi. Jangan sampai.