Jakarta Sudah tahu sutradara film “Arisan” yang fenomenal, Nia Dinata, tengah mempersiapkan film terbarunya yang berjudul “Ini Kisah Tiga Dara”? Sebelum menyaksikan kehebatan tangan dinginnya membesut film yang syutingnya dilakukan di Flores ini, kami sarankan agar menonton dulu film versi lawasnya “Tiga Dara”.
“Ini Kisah Tiga Dara” merupakan film yang terinspirasi dari film legendaris “Tiga Dara” yang dulu tayang di tahun 1956. Film komedi musikal ini sangat sukses, dan ditayangkan selama delapan minggu berturut-turut di seluruh Indonesia, dan menjadikannya sebagai film Indonesia terlaris pada masanya. Tak hanya itu, film ini juga menjadi trend setter sosial dan budaya sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat Indonesia pada masa itu.
Kami mendapatkan kesempatan menyaksikan “Tiga Dara” terlebih dahulu sebelum resmi diputar di seluruh bioskop Indonesia tanggal 11 Agustus nanti. Saya yang tidak awam dengan film klasik ini sempat tidak yakin. Apalagi, film ini masih berwarna hitam putih. “Serasa seperti menonton layar tancap,” pikir saya.
Sangkaan saya berlanjut bahwa film ini akan membosankan, apalagi setting waktunya sangat jauh dari masa sekarang. Is it going to be relevant? Namun, seiring saya mengikuti filmnya, semua pikiran dan sangkaan buruk tadi seketika terpatahkan. Cerdas, ringan, dan segar. Beyond expectation, film arahan Usmar Ismail ini sangat mengesankan! Bahkan gelak tawa para penonton selalu bergema di setiap adegan.
Dari segi cerita, “Tiga Dara” menawarkan kisah yang ringan dan menghibur. Berkisah tentang tiga saudara perempuan, yaitu Nunung (Chitra Dewi), Nana (Mieke Wijaya), dan Neni (Indriati Iskak). Sepeninggal ibu mereka, ketiganya hidup bersama ayah Sukandar (Hassan Sanusi) dan nenek (Fifi Young). Bermula ketika nenek mereka ingin sekali mencarikan jodoh untuk Nunung. Tidak disangka justru Nunung dan Nana dilanda asmara di waktu yang bersamaan dengan satu laki-laki yang sama pula.
Yang membuat film ini tidak membosankan adalah dialog-dialog natural yang sangat lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Ditambah pula dengan lagu-lagu yang liriknya menggelitik. Dan nyatanya, kultur anak muda di masa itu, yakni 1956, tidak jauh berbeda dengan kita yang hidup di masa modern. Sangat relevan sehingga film ini tetap bisa dinikmati oleh generasi muda di masa sekarang.
Meski filmnya masih berwarna hitam putih, prinsipnya kita tetap harus menghargainya tanpa rasa meremehkan. Mengapa? Karena hadirnya film ini di tahun 2016 yang serba digital telah melalui perjalanan yang sangat panjang. Fisik seluloid “Tiga Dara” sudah mengalami kerusakan karena faktor penyimpanan. Berawal dari inisiatif EYE Museum di Amsterdam (tempat seluloid “Tiga Dara” disimpan) untuk melakukan penyelamatan terhadap film ini, kemudian pihak SA Films yang digawangi oleh Yoki P. Sofyan mengambil alih proses restorasi.
Dengan team hebat yang terdiri dari para ahli di bidangnya, antara lain Windra Benyamin, Lintang Gitomartoyo, dan Taufiq Marhaban, akhirnya seluloid yang rusak tersebut berhasil direstorasi dalam format 4K dalam waktu 17 bulan. Hasilnya? Kita dapat menikmati kisah “Tiga Dara” di bioskop dengan gambar dan suara yang lebih tajam dan bersih lengkap dengan detail yang lebih lengkap, yang bahkan tidak terlihat pada versi sebelum restorasi 4K.
Mengetahui fakta di balik kembali diputarnya film legendaris ini, kebanggaan saya naik berkali lipat. Zaman dahulu saja sineas Indonesia sudah bisa menghasilkan film sebagus ini. Dan sepertinya kita harus meniru warga Prancis yang menyukai film-film klasik agar film klasik dalam negeri dapat lebih diapresiasi dan diminati.
Film “Tiga Dara” hasil restorasi 4K akan dirilis di bioskop-bioskop seluruh Indonesia mulai tanggal 11 Agustus 2016. Sementara film baru yang terinspirasi dari film “Tiga Dara”, yaitu “Ini Kisah Tiga Dara” karya sutradara Nia Dinata akan dirilis mulai tanggal 1 September 2016. Pastikan kamu menonton dua versi kisah Tiga Dara ini, Fimelova!