Sukses

Lifestyle

Lebaran Ini, Aku Menyadari Bahwa Dendam Telah Menghapus Rezekiku

Jika bagi orang lain momen Lebaran identik dengan sukacita, Bagi saya momen Lebaran selalu pilu. Meski saya dan keluarga merasa menang dari puasa Ramadan yang kami jalani, tapi bagi keluarga besar ayah saya, kami selalu menjadi yang paling kalah.

Saya anak kedua dari lima bersaudara, dan satu-satunya anak perempuan. Ayah saya 10 tahun terakhir tidak memiliki pekerjaan tetap karena kurang modal pada profesinya terdahulu sebagai supplier barang ke hotel. Kini Beliau hanya sering membantu teman menjual properti untuk mendapat komisi. Sedangkan ibu saya hanya ibu rumah tangga biasa. Ibu saya dahulu adalah guru, namun seiring bertambahnya anak, ayah saya menghendaki ibu di rumah saja.

Keuangan yang tidak pernah stabil membuat keadaan pendidikan saya dan saudara-saudara saya selalu di ujung tanduk. Semua dari kami semua (berlima, tanpa terkecuali) pernah merasakan tidak diizinkan ujian karena menunggak spp. Dan kami semua pernah merasakan ijazah ditahan pihak sekolah karena hingga hari kelulusan tunggakan belum juga dilunasi.

Segala usaha dilakukan ayah dan ibu saya agar kami semua bisa lulus dan kuliah hingga sarjana. Mulai dari cari pekerjaan tambahan hingga meminjam uang di keluarga sudah pernah dilakoni. Namun keluarga ayah saya menganggap rendah usaha ayah saya. Seringkali ayah tidak dipinjami dengan alasan tidak logis, bahwa dulu, saat ayah saya masih muda, beliau lebih banyak menghabiskan uang kakek saya. Entah kenapa banyak yang tidak menyukai ayah saya, mungkin karena dulu beliau yang paling disayang kakek saya.

Tidak hanya itu, setiap Lebaran dan kami berkumpul di rumah kakek saya (kakek saya sudah meninggal, rumah itu ditinggali oleh 7 saudara ayah yang semuanya tidak menikah) kami disindir dengan kalimat-kalimat :

Kalau nggak mampu sekolah ya nggak usah sekolah, kerja aja dulu,”

Liat tuh anak tante Sasa, dia pintar ranking 1 terus, pasti lulus SMA dapat beasiswa, kalau kayak kamu cari kuliah biasa gini kan susah,”

Anaknya tante Anti tuh cantik, makanya sering main iklan jadi udah bisa cari duit sendiri,”

Belum lagi tuduhan bahwa kami sombong, karena beberapa kali Lebaran kami tidak ke rumah kakek. Padahal sesungguhnya pada saat itu kami Lebaran tanpa ada uang untuk ongkos dan hanya ada uang untuk makan hingga liburan usai. Dan selama beberapa kali Lebaran itu pula, meski mengetahui ayah saya dalam kesulitan, tidak ada satupun dari 10 saudaranya yang berkunjung ke rumah.

Dendam Itu Masih Saya Rasakan

 

Saat ayah sakit keras hingga hanya bisa buang air di kasur, tetap tidak ada satupun saudaranya yang menjenguk. Bagi saya, ayah saya sudah tidak dianggap, rasa dendam muncul di hati saya. Puncaknya suatu hari salah satu tante menelpon sambil memaki saya, bahwa ayah saya belum membayar hutangnya. Dengan ganasnya ia memaki ayah saya, yang tidak lain adalah kakaknya sendiri. Dia juga mendoakan kami sekeluarga agar terkena azab.

Saya hanya bisa terdiam kemudian menangis setelah menutup telepon. Sungguh saya tidak terima dan menjadi bertambah dendam pada saudara-saudara ayah saya. Sejak hari itu saya bertekad untuk sukses dan mendukung adik-adik saya untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa harus minta bantuan siapapun.

Allah selalu mendengar doa kami. Dua adikku mendapat beasiswa kuliah dan seorang lagi kuliah sambil bekerja. Kakak saya mampu menikah dengan uangnya sendiri. Dan saya, setelah 6 tahun perjuangan pindah kuliah dan mengulang pendidikan di kampus kedinasan hingga akhirnya mampu memiliki pekerjaan di Indonesia bagian timur dan bisa menopang makan dan kos adik-adik saya. Tapi dendam saya belum hilang.

Rezeki Yang Saya Kumpulkan Habis

Menjelang Ramadan tahun ini, saya bekerja keras dan mengambil banyak pekerjaan tambahan demi honor lebih. Tujuannya agar saat Lebaran punya ongkos ke rumah kakek saya, terbalut busana yang tidak kalah mewah dengan keluarga yang lain, dan bisa bercerita dengan lantang pencapaian kami.

Tetapi anehnya, semakin saya berusaha, uang yang saya butuhkan justru habis untuk hal-hal tidak terduga. Adik saya mendadak masuk rumah sakit beberapa minggu, dan kakak ipar saya butuh tambahan uang untuk kelahiran keponakan saya. Ditambah beberapa minggu sebelum itu, motor adik pertama saya hilang diambil maling. Banyak uang honor yang tertunda dan uang tabungan saya terus menipis.

Saya begitu kecewa dengan keadaan saat itu. Kenapa setelah berusaha keras, hasilnya justru tidak bisa saya lihat. Memasuki Ramadan saya sedikit lunglai. Karena yang ada di kepala saya hanya bagaimana agar saat hari Lebaran nanti kami tidak lagi direndahkan.

Di situ saya mulai menata pikiran, fokus dan khusyuk ibadah. Saya menambah amalan-amalan ibadah saya di Ramadan tahun ini dan lebih banyak bersedekah. Di tengah-tengah doa saya yang tidak pernah terputus setelah salat, saya baru menyadari, dendam dan niat saya yang tidak lurus lah yang membuat rezeki saya begitu sempit, sekeras apapun saya berusaha.

Saya seperti baru tersadar apa makna Lebaran sebenarnya, dan bahwa memaafkan adalah mutlak hukumnya jika ingin hidup tenang. Saya tidak lagi meneruskan ‘misi’ saya untuk 'pamer' pada Lebaran kali ini. Sebaliknya, saya meneruskan ‘misi’ pribadi saya untuk terus memaafkan dan melupakan dendam saya.

Rezeki yang berkah memang datang di saat yang tepat. Menjelang Lebaran, berbagai dana yang tertunda akhirnya datang tanpa halangan. Saya bisa pulang, dan saya bisa ke rumah kakek saya, bertemu seluruh saudara ayah saya yang mungkin masih melecehkan kami. Saya tidak peduli, karena kami datang bukan untuk memamerkan diri dan berteriak lantang, tapi untuk unjuk gigi dari kekuatan memaafkan.

(vem/yel)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading