Sukses

Entertainment

Eksklusif, Perkenalan Akting Ario Astungkoro di Era Digital

Fimela.com, Jakarta Kemajuan dunia digital telah memudahkan banyak orang dalam mengakses segala macam informasi. Termasuk dalam menikmati hiburan seperti film. Ario Astungkoro pun beruntung dapat ikut merasakan imbas dari perubahan zaman ini. Bahkan, ia berkesempatan memperkenalkan bakat akting yang dimlikinya.

****

Sejak duduk di bangku SMA (Sekolah Menengah Atas), Ario sudah mulai menggeluti dunia hiburan dengan menjadi penyiar salah satu radio di Bandung, Jawa Barat. Meski sempat vakum, kegemarannya bercuap-cuap di depan mikrofon dapat kembali dilanjutkan usai ia merampungkan studi.

Ario Astungkoro. (Fotografer: Febio Hernanto, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri, Bintang.com)

Dewi fortuna akhirnya menghantarkan Ario pada dunia hiburan yang lebih luas lagi. Pria kelahiran Jakarta, 12 Mei 1988 ini berhasil menjadi penyiar program-program di televisi nasional hingga mengenalkannya pada seni peran. Meski pada mulanya tidak percaya diri, namun akting Ario nyatanya sukses memikat hati sutradara.

Hanya perlu satu kali casting, Ario sudah mendapat kepercayaan untuk peran dalam sebuah produksi film layar lebar. Memang, peran tersebut tidak lah besar. Namun setidaknya, hal ini menjadi batu loncatan yang amat berarti bagi Ario. Seiring berjalannya waktu, rasa cinta akan akting itu pun terus tumbuh.

Ario Astungkoro. (Fotografer: Febio Hernanto, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri, Bintang.com)

Di usia karier aktingnya yang masih seumur jagung, Ario kembali mendapat kesempatan emas untuk terlibat di web series School of the Dead. Diproduksi eksklusif oleh Vidio.com, web series ini mencoba menawarkan sensasi menonton baru di tengah era digital. Kemudahan akses dan singkatnya waktu penayangan membuat web series ini berbeda dari 'produk' akting lainnya.

Bagaimana pengalaman Ario selama terlibat di web series School of the Dead? Lalu, seperti apa pandangan Ario tentang dunia hiburan dan kemajuan dunia digital? Apa rencana karier Ario ke depannya? Simak hasil wawancara Regina Novanda dan Febio Hernanto dengan Ario Astungkoro saat berkunjung ke kantor Bintang.com, Gondangdia, Jakarta Pusat, 2 Maret 2016.

Pengalaman Ario Astungkoro Terlibat di Web series

Terlibat di produksi web series merupakan pengalaman baru, sekaligus tak terlupakan bagi Ario Astungkoro. Pasalnya, di sini, Ario banyak belajar akan akting dari para pemain lainnya yang ikut terlibat. Selain itu, impiannya untuk adu akting dengan sang idola, Ardina Rasti, akhirnya terwujud. 

Bisa dijelaskan perannya di School of the Dead?

Peran saya sebagai Ario, karena di sini kita pakai nama masing-masing. Dia adalah siswa sebuah sekolah yang paling tahu semua kejadian. Ceritanya, di satu sekolah itu ada semacam makhluk yang kita nggak tahu apa. Di saat yang lainnya belum bisa melihat banyak, si Ario ini sudah muter-muter dulu. Dia ingin menjelaskan kepada teman-temannya, tapi dia nggak tahu itu makhluk apa. Dia ketakutan sendiri.

Rasanya adu akting dengan Ardina Rasti?

Seru, karena saya nonton Ardina Rasti sudah dari zaman film Virgin. Awalnya nggak pernah kepikiran bisa satu web series dengan Ardina Rasti. Di backstage kita sudah ngobrol-ngobrol, banyak sharing juga, jadi sudah enak pas take. Karena karakter dia di sini paling lucu dan polos, sedangkan saya ingin membunuh Rasti.

Cara bangun chemistry dengan Ardina Rasti?

Sebenarnya hanya ada satu scene sama dia, jadi nggak terlalu gimana banget. Di sini saya lebih ngebangun karakter Ario. Justru lebih bangun chemistry sama yang lainnya seperti Gandhi Fernando, Angelica Simperler. Kebetulan sama Gandhi sudah kenal lama, kalau Angel baru kenal di lokasi. Dia anaknya menyenangkan.

Ario Astungkoro. (Fotografer: Febio Hernanto, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri, Bintang.com)

Bagaimana cara kamu masuk ke karakter yang diperankan?

Saya melakukan observasi. Kesulitannya itu ketika mencari orang untuk kita observasi karakternya. Saya biasanya observasi dari banyak orang. Memilih dan memilahnya yang lama. Terkadang saya harus menggabungkan beberapa karakter di film yang saya perankan.

Kalau di web series ini, observasinya ke mana?

School of the Dead itu ada 10 episode dan kita syutingnya hanya dalam satu hari. Jadi skripnya nggak tebel. Cari tahu karakternya juga dari sutradara langsung. Scene saya tidak sebanyak yang lainnya, jadi lebih mudah. Tapi susahnya, karena saya harus jadi makhluk yang berbeda.

Apa tantangannya selama syuting?

Syuting dari jam 6 pagi sampai 12 malam. Satu hari full, benar-benar capek banget. Dan itu pertama kalinya saya make up macem-macem, sampai muka saya beda banget, langsung jerawatan juga. Cuma begitu jadi, gokil banget make up-nya. Walau cuma satu scene, tapi itu penting banget.

Apa pengalaman menarik selama syuting School of the Dead?

Berkumpul bersama pemain-pemain lain, itu yang menarik. Karena kita capek syuting seharian penuh, tapi karena orangnya asyik kita ketawa terus. Jadi kita ngerasa nggak syuting, main aja. Seru banget.

Ario Astungkoro. (Fotografer: Febio Hernanto, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri, Bintang.com)

Apa yang membuat School of the Dead menarik?

Web series ini beda banget. Karena dari segi penggarapan, School of the Dead ini bener-benar serius kayak film, mulai dari grading warna, ngambil gambarnya juga. This is a something new. Orang zaman sekarang itu banyak yang nggak sempat nonton TV karena kesibukan, apalagi durasinya lama di TV. Tapi di web series ini kita cuma 4 menit, nonton di kemacetan Jakarta bisa banget. Bisa nonton di mana dan kapan saja. Ini terobosan baru, mungkin bisa memancing produser-produser lain buat bikin web series.

Tanggapan kamu ketika pertama kali menerima tawaran main web series?

Di luar itu bagus-bangus banget web series. Di Indonesia belum ada orang yang berani ngedobrak itu. Dan menurut saya di vidio.com ini, mereka berani banget membuat web series yang serius. Jadi saya excited banget.

Menurut kamu, seperti apa peran video streaming di era sekarang?

Penting banget zaman sekarang. Apalagi saya suka Korea, mau drama atau musiknya. Saya jarang di rumah, dan satu-satunya tools yang saya punya, smartphone. Lewat itu, saya bisa mengakses banyak hal. 

 

Ario Astungkoro Anggap Akting sebagai Eksplorasi Diri

Akting bagi Ario Astungkoro adalah eksplorasi diri. Ia dapat leluasa keluar dari zona nyamannya sebagai penyiar. Merasa mulai ketagihan, Ario pun ingin menyeriusi bidang seni peran yang baru digelutinya ini. 

Bedanya syuting web series dan film?

Web series itu cut-nya cepat. Kalau di film, kita melakukan kesalahan, masih bisa diulangi lagi, satu scene bisa six or seven cut. Namun, kalau web series nggak gitu, cepet banget.

Lebih nyaman mana?

Kalau dari segi waktu, jelas web series karena cepat. Tapi kalau di eksplorasi akting itu lebih nyaman di film. Karena prosesnya panjang seperti ada reading. Jadi lebih dapat saja.

Selama ini pernah dapat peran menantang?

Kebetulan kemarin habis main dua film berbeda dalam waktu yang sama, tapi filmnya masih akan tayang. Pertama, Petak Umpat Minako yang merupakan genre horor thriller. Di situ saya perannya sebagai orang yang akhirnya mati. Jadi saya benar-benar ketakutan, saya di kejar-kejar. Satu film lagi judulnya Iqro, saya berperan sebagai jurnalis. Karena itu film drama religi keluarga, peran saya smart, taktis, baik-baik pokoknya, dia juga kritis.

Ingin adu akting sama siapa?

Saya pengen adu akting dengan Ardinia Wirasti. Nggak tahu kenapa, dia karakternya kuat banget. Ketika lihat sekali, saya langsung bisa bilang dia keren. Kalau aktor, saya pengen banget adu peran dengan Cok Simbara, karena saya ngefans sama dia dari kecil sejak nonton Noktah Merah Perkawinan. Dan kemarin main film Iqro sempat satu scene sama Cok Simbara. Dream comes true. Beliau baik sekali, ramah dan helpful. Dia sistemnya diskusi, bukan mengajari dan mengatur lawan main. Dia memberi kebebasan pada saya untuk eksplorasi.

Ario Astungkoro. (Fotografer: Febio Hernanto, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri, Bintang.com)

Akting buat kamu?

Eksplorasi diri. Suatu hal yang nggak pernah saya dapatin sebelumnya di dunia saya. Basicly, saya penyiar lalu presenter. Masuk di dunia akting masih baru. Jadi saya mengambil akting itu sebagai ekplorasi diri, di mana kita bisa menggali diri.

Kapan mulai jatuh cinta pada akting?

Sejak casting film pertama kali. Masih baru banget. Awalnya saya ketemu Gandhi, dia bilang saya bisa akting. Awalnya saya mikir kayaknya nggak deh, nggak pede. Saya juga nggak mau dibilang aji mumpung karena lagi banyak program TV. Cuma dari situ dikenalin ke managernya Gandhi, dia ngajak saya buat casting pertama kali, Pentak Umpat Minako. Saya langsung masuk. Lalu, saya mikir ini something new banget, and maybe this is the way that God gave me, ditunjukkin saja sama Tuhan arahnya ke sana. Lalu nggak lama saya dapat tawaran main di Iqro. Tuhan lagi baik banget sama saya, jadi saya cobain. Ternyata menyenangkan sekali.

Apakah pernah ikut sekolah akting?

Nggak, saya otodidak. Tapi pengen banget sekolah akting. Dulu pas sekolah pernah ikut teater gitu, tapi nggak pernah kepikiran itu jadi pekerjaan yang serius. Kalau boleh milih, pengen banget main drama musikal. Soalnya kayaknya fun, bisa tau feedback penonton kayak apa. Ekplorasi juga dapet.

Ada ketakutan saat akting di depan kamera nggak?

Ada rasa takut. Karena saya orangnya nggak pede-an. Habis akting saya selalu langsung lari ke manager minta pendapat. Saya sudah kebayang begitu nanti premier film, ada semua orang di situ saya takut.

Ario Astungkoro. (Fotografer: Febio Hernanto, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri, Bintang.com)

Presenting dan akting, enakan mana?

Keduanya sama-sama menyenangkan. Presenting kita jadi diri sendiri, dibayar lebih cepat juga. Karena satu episode langsung dibayar. Kalau web series atau film, enaknya kita bisa belajar mencari karakter lain di luar kita sendiri. Jadi kita eksplorasi tentang diri kita. Sebenarnya itu membantu juga di dunia presenting saya. Nggak enaknya di film itu waktunya lama.

Apakah sudah punya projek baru?

So far karena lagi banyak program di TV jadi belum bisa ngambil yang aneh-aneh dulu. I don't know mungkin sampai akhir Maret ini masih fokus sama program TV dan ditambah dengan web series Vidio.com School of the Dead ini. Kami juga sudah siap-siap buat season keduanya.

Apa harapan kamu untuk karier ke depan?

Karena sudah bergabung pada management, saya ingin eksplorasi lebih di dunia akting. Harapannya adalah semoga Tuhan masih baik pada saya untuk program TV, film, web series dan sebagainya. Ya, saya selalu percaya segala sesuatu itu indah pada waktunya. Jadi sekarang, apa yang terbaik buat saya, saya ambil.

Ario Astungkoro adalah satu dari banyak anak muda berbakat Indonesia. Dengan segala talenta yang dimilikinya, Ario mencoba menawarkan suasana baru bagi dunia hiburan Tanah Air. Seperti pelaku seni lainnya, Ario pun ingin karyanya dapat terkenang dan terlukis di benak masyarakat. Sukses selalu, Ario Astungkoro. 

 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading