Review Buku Novel How to Stop Time Karya Matt Haig

Endah Wijayanti diperbarui 30 Sep 2021, 12:15 WIB

Fimela.com, Jakarta "Jangan jatuh cinta," itulah aturan pertama yang ditekankan Hendrich kepada Tom Hazard pada pertemuan yang terjadi lebih dari seabad lalu. Sebuah aturan yang terasa aneh, tetapi itu adalah aturan yang sangat penting mengingat kehidupan Tom, sama seperti Hendrich, berbeda dari orang kebanyakan. Tom menua lebih lama ketimbang orang biasa.

Tampak luar, Tom seperti pria berusia 41 tahun. Namun, siapa sangka sebenarnya ia lahir lebih dari 400 tahun lalu. Lebih dari empat abad dia menjalani kehidupan. Saat orang-orang terdekatnya menua, sakit, dan meninggal, ia masih tetap hidup. Belum lagi dengan kenangan-kenangan menyakitkan yang tak pernah bisa hilang dari benaknya, semua itu terus menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan yang sudah dijalani lebih dari abad ini. 

Anageria, itulah kondisi yang diidap Tom. Sel-sel tubuhnya berbeda dari sel-sel tubuh orang kebanyakan. Sel tubuhnya mengalami proses penuaan yang sangat lambat. Ia bahkan bisa saja hidup hingga ribuan tahun.

Sudah hidup selama lebih dari empat abad, jelas ia paham betul rasanya hidup di berbagai zaman. Bahkan Tom mengenal beberapa sosok legendaris, seperti William Shakespeare, Scott Fitzgeralad, dan Charlie Chaplin di masa lalu. Bukan sekadar mengenal biasa, tapi terlibat langsung berinteraksi dan melakukan pertunjukan bersama mereka.

Hanya saja punya kemampuan berumur panjang tak serta merta menghadirkan kebahagiaan. Walaupun dia sudah melewati berbagai zaman, melintasi sejumlah generasi, mengunjungi berbagai negera, dan memiliki kekebalan tidak mudah sakit, tetap saja masa depan adalah sesuatu yang tak pasti. Setelah bergabung dengan Masyarakat Albatross (kelompok rahasia yang melindungi orang-orang seperti Tom), ia tak lantas bisa hidup tenang begitu saja. Dia masih berusaha mencari putrinya, serta masih berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang benar-benar ia inginkan.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

How to Stop Time

Novel How to Stop Time./Copyright Endah

Judul: How to Stop Time

Penulis: Matt Haig

Alih Bahasa: Lanny Murtihardjana

Editor: Muthia Esfand dan Rosi Simamora

Desain sampul: Martin Dima

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tom Hazard menyimpan rahasia berbahaya. Ia mungkin tampak seperti pria berusia 41 biasa, tapi karena kondisi medis sangat langka, ia sudah hidup berratus-ratus tahun. Tom pernah jadi bagian sejarah---memainkan musik untuk Shakespeare, mengekspolarasi lautan dengan Captain Cook, dan minum koktail dengan Fitzgerald. Sekarang, ia hanya ingin hidup normal.

Jadi Tom pindah ke London, tempat tinggal lamanya, untuk jadi guru sejarah---pekerjaan yang pas untuk orang yang menyaksikan sejarah kota itu dengan mata kepala sendiri. Tom mengira ia akan mendapatkan hidup yang diinginkannya. Hingga seorang wanita yang jadi guru bahasa Prancis di sekolahnya tampak tertarik padanya. Tapi Masyarakat Albatross, kelompok rahasia yang melindungi orang-orang seperti Tom, punya satu aturan: jangan jatuh cinta.

Ketika kenangan masa lalu yang menyakitkan dan tindakan membahayakan dari pemimpin Masyarakat Albatros mengancam kehidupan baru dan kisah cintanya, satu hal yang tak bisa ia miliki mungkin malah jadi satu-satunya hal yang bisa menyelamatkannya. Tom harus memutuskan apakah ia akan tetap terjebak di masa lalu, ataukah ia siap untuk hidup di masa kini?

***

"Tidak jarang aku merasa putus harapan. Pencarianku tidak hanya untuk menemukan hal lain yang hilang dariku, makna hidup. Tujuan hidup. Terpikir olehku manusia tidak hidup lebih lama dari seratus tahun karena memang tidak dimampukan untuk itu. Maksudku secara psikologis. Kau seakan kehabisan energi. Tidak tersedia cukup keinginan untuk melanjutkan hidup. Kau terlampau jenuh dengan pikiranmu sendiri seiring berulangnya siklus kehidupan." (hlm. 45)

Selama menjadi bagian dari Masyarakat Albatross, Tom harus melakukan tugas yang diberikan oleh Hendrich. Ada misi yang harus ia tuntaskan di setiap penugasan. Selain, saat menetap di suatu tempat tidak boleh lebih dari delapan tahun. Kalau sudah delapan tahun, maka harus pindah ke tempat atau negara lain dengan identitas baru. 

Sampai kemudian Tom pindah ke London, tempat tinggal lamanya. Ia memilih menjadi guru sejarah. Namun, siapa sangka di sini ia malah jatuh cinta. Ada seorang guru yang menarik perhatiannya, bahkan tampak sudah mengenal dirinya jauh sebelum pertemuan pertama mereka.

Tom jatuh cinta lagi, tapi dia dilarang jatuh cinta. Belum lagi dengan kenangan ratusan tahun lalu yang telah menorehkan luka begitu dalam, tentang Rose dan putrinya. Rose yang sangat dicintainya dan putrinya yang entah ada di mana. Tom masih berjuang menemukan putrinya karena ia merasa putrinya pun mewarisi kondisi yang sama dengannya, hanya saja sudah ratusan tahun ini hasilnya nihil.

"Selama bertahun-tahun ini aku berhasil meyakinkan diri bahwa kepedihan kenangan terasa lebih berat dan lama daripada saat-saat bahagia. Karena itu, dengan menggunakan semacam matematika emosional yang kejam, aku memutuskan lebih baik tidak mencari cinta, persahabatan, bahkan pertemanan." (hlm. 163)

Mengidap kondisi langka yang membuat kita bisa hidup jauh lebih lama dari orang kebanyakan bukan jaminan kebahagiaan. Seperti Tom yang sudah melewati berbagai pengalaman hidup, tetap saja dia tak pernah bisa tahu apa yang akan terjadi di depan. Masa depan tetaplah misteri. Kehidupan selalu menyuguhkan kejutan yang tak terduga.

"Hidup ini mempunyai irama yang janggal. Dibutuhkan waktu cukup lama untuk bisa menyadari hal ini. Sekian dekade. Bahkan berabad-abad. Irama yang tidak mudah. Bagaimanapun, irama itu tetap ada. Kecepatannya berubah dan turun-naik. Di dalam struktur ada struktur, dan di dalam pola tersimpan pola. Sungguh mengagumkan." (hlm. 316)

Novel ini benar-benar menyuguhkan cerita yang memikat. Kita akan diajak untuk melintasi berbagai dimensi waktu dan negara. Mengikuti pengalaman Tom bertemu dengan seniman-seniman klasik dan sosok-sosok legendaris. Selain itu, kita juga akan ikut terhanyut dengan pergolakan batin yang dialami oleh Tom. Kesedihan yang masih melekat tentang kematian kedua orangtuanya dan istrinya. Kerinduan yang mendalam pada orang-orang terkasih hingga rasa penuh ketidakpastian tentang keberadaan putrinya. 

Bahkan di akhir novel ini, ada kejadian yang membuat pembaca bisa menitikkan air mata. Begitu sedih dan pilu. Namun, sekaligus memberi secercah harapan baru. 

Mengikuti kisah Tom kita pun akan ikut digiring untuk kembali merenungkan makna hidup. Kehidupan ini memang tak selalu mudah untuk dijalani. Tak pernah bisa kita memastikan atau tahu dengan pasti hal-hal yang menanti kita di depan sana. Pun kita tak bisa kembali ke masa lalu meski semua bayangan dan kenangan di masa itu masih teringat jelas di benak kita.

How to Stop Time, novel ini sangat cocok dibaca oleh siapa saja. Kisah Tom mengajak kita untuk menyelami hidup kita sendiri. Mengajak kita untuk kembali memeluk diri sendiri, serta mendorong kita untuk menjalani kehidupan kita dengan penuh kesadaran. 

#ElevateWomen