Mengapa Orangtua Tidak Seharusnya Mengajarkan Anak Jadi Sempurna? Ini 7 Dampak Negatifnya

Adinda Tri WardhaniDiterbitkan 24 Oktober 2025, 07:05 WIB

ringkasan

  • Mengajarkan anak untuk menjadi sempurna dapat menyebabkan dampak psikologis negatif seperti kecemasan, depresi, dan gangguan makan, serta menghambat perkembangan diri mereka.
  • Pola asuh perfeksionis dapat merusak hubungan orang tua-anak dengan menciptakan penerimaan bersyarat dan menghambat otonomi anak, bahkan mewariskan sifat perfeksionisme antar generasi.
  • Fokus pada kesempurnaan menghambat ketahanan diri anak dalam menghadapi kegagalan dan dapat menyebabkan kelelahan pada orang tua karena ekspektasi yang tidak realistis.

Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, seringkali orangtua memiliki keinginan besar agar anak-anak mereka tumbuh menjadi pribadi yang unggul dan tanpa cela. Namun, ada sebuah pertanyaan penting yang perlu direnungkan: mengapa orang tua tidak seharusnya mengajarkan anak jadi sempurna?

Pendekatan pola asuh yang menekankan kesempurnaan justru dapat membawa berbagai konsekuensi negatif yang serius. Hal ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental dan perkembangan anak, tetapi juga dapat membebani orang tua itu sendiri.

Memahami alasan di balik pentingnya melepaskan tuntutan kesempurnaan akan membantu Sahabat Fimela dalam menciptakan lingkungan tumbuh kembang yang lebih sehat dan mendukung bagi buah hati.

2 dari 4 halaman

Dampak Psikologis Negatif pada Perkembangan Anak

Sejak usia dini, anak mungkin mengembangkan ketakutan berlebihan untuk membuat kesalahan, yang pada akhirnya menghambat keinginan mereka untuk mencoba hal-hal baru dan berinovasi. (Foto: Giu Vicente/Unsplash)

Pola asuh yang cenderung perfeksionis dapat menimbulkan peningkatan kecemasan dan keraguan diri yang signifikan pada anak-anak. Sejak usia dini, anak mungkin mengembangkan ketakutan berlebihan untuk membuat kesalahan, yang pada akhirnya menghambat keinginan mereka untuk mencoba hal-hal baru dan berinovasi.

Ketika anak memasuki masa remaja, tekanan ini bisa bermanifestasi sebagai perilaku menunda-nunda atau bahkan penghindaran terhadap tugas. Remaja yang dibesarkan dengan standar perfeksionis seringkali berjuang dengan masalah harga diri, menetapkan ekspektasi yang tidak realistis bagi diri sendiri.

Perfeksionisme yang tidak sehat ini berkontribusi pada berbagai kondisi psikologis serius, termasuk depresi, kecemasan kronis, melukai diri sendiri, dan gangguan makan. Anak-anak dari orang tua perfeksionis cenderung mengalami peningkatan stres dan ketakutan akan kegagalan, yang pada gilirannya menurunkan harga diri mereka secara drastis.

Perfeksionisme maladaptif sangat terkait dengan tantangan kesehatan fisik dan mental pada remaja, seperti gangguan obsesif-kompulsif (OCD), kecemasan, depresi, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri.

3 dari 4 halaman

Memengaruhi Hubungan Keluarga dan Pewarisan Sifat Perfeksionis

Perfeksionisme orang tua secara signifikan membentuk dinamika hubungan antara orang tua dan anak. Orang tua dengan kecenderungan perfeksionis mungkin kesulitan memberikan penerimaan tanpa syarat, seringkali mengaitkan persetujuan mereka dengan pencapaian anak.

Pendekatan kondisional semacam ini dapat menciptakan hubungan yang tegang dan meningkatkan tingkat kecemasan pada anak-anak. Anak-anak mungkin merasa terus-menerus dievaluasi, yang sangat memengaruhi harga diri dan kesejahteraan emosional mereka.

Perfeksionisme orang tua juga dapat termanifestasi dalam perilaku terlalu protektif atau mengontrol. Tindakan ini, meskipun seringkali bermaksud baik, justru dapat menghambat otonomi dan kepercayaan diri anak dalam mengambil keputusan sendiri.

Penelitian menunjukkan bahwa perfeksionisme dapat berlanjut dari generasi ke generasi, di mana orang tua perfeksionis cenderung membesarkan anak-anak yang juga perfeksionis. Anak-anak ini dapat mengembangkan kritik diri yang berlebihan, penundaan karena takut akan ketidaksempurnaan, dan kesulitan mengatasi kegagalan yang dirasakan.

4 dari 4 halaman

Menghambat Ketahanan Diri dan Risiko Kelelahan Orang Tua

Ketakutan seorang perfeksionis akan kegagalan seringkali lebih besar daripada kegembiraan akan kesuksesan yang mungkin diraih. Mereka cenderung melihat kesalahan dan kritik konstruktif sebagai bukti bahwa mereka tidak layak, menghambat potensi kreatif dan inovatif mereka.

Pikiran untuk tidak berprestasi dengan baik dapat mencegah mereka berpikir di luar kebiasaan, membatasi eksplorasi ide-ide baru. Ketakutan akan kegagalan juga bisa menyebabkan mereka menghindari tugas sama sekali atau terlihat acuh tak acuh terhadapnya.

Mengajarkan anak-anak untuk menghadapi kegagalan yang tak terhindarkan dengan cara yang sehat sangat penting untuk membangun kepercayaan diri sejati. Ini membantu mereka memahami bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar dan bukan definisi dari diri mereka.

Selain itu, berusaha menjadi orang tua yang sempurna adalah ekspektasi yang tidak realistis dan dapat menyebabkan kelelahan pada orang tua. Kelelahan ini sangat terkait dengan depresi, kecemasan, dan stres, yang pada akhirnya juga berdampak negatif pada perilaku dan emosi anak-anak.